Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Sunday, February 28, 2010

ATLANTIS, BOROBUDUR, DAN KEINDONESIAAN KITA.




Oleh: Ma'rufin Sudibyo

Borobudurlinks, 1 Maret 2010. Sebuah seminar telah digelar di Museum Indonesia TMII pada Sabtu, 20 Februari 2010 lalu. Mengupas buku Prof Arysio Santos nan kontroversial. Indonesia sebagai lokasi benua yang hilang: Atlantis. Buku tersebut kini telah dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia.
Meski isu yang diangkat tergolong kontroversial namun daya magnitude-nya masih kalah jauh dibanding panasnya publisitas skandal Bank Century. Namun demikian masih ada 100-an orang yang menghadiri seminar tersebut yang ditingkahi diskusi seru sehingga penutupan seminar sampai mundur 1,5 jam dari rencana awal.
Prof Arysio Santos yang sejatinya adalah pakar fisika nuklir kelahiran Brazil menghabiskan waktu 30-an tahun guna meneliti segenap aspek akan Atlantis. Sebelum akhirnya menyimpulkan bahwa kontinen dengan penduduk berperadaban tinggi yang mendadak lenyap dari muka Bumi itu sebenarnya berada di Indonesia. Yakni di lokasi yang kini dikenal sebagai Paparan Sunda. Tanah rendah yang kini telah tenggelam di bawah limpahan air laut dan sebelumnya menghubungkan pulau-pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan beserta pulau-pulau kecil di antaranya.
Santos mengajukan argumen bentuk-bentuk candi, sistem pertanian terasering beserta kebudayaan-kebudayaan mirip kebudayaan Indonesia yang ditemukan di luar wilayah negara kepulauan ini. Seperti misalnya di India, Madagaskar, atau bahkan Afrika Selatan adalah bukti eksistensi Atlantis di Paparan Sunda.
Santos pun mengklaim Atlantis tenggelam 11,6 ribu tahun silam. Saat untaian gunung-gunung api di tanah Sumatera dan Jawa seperti Toba dan Krakatau meletus sehingga terjadi pelelehan es kutub yang menyebabkan permukaan air laut global menaik.
Kritik tajam memang perlu dialamatkan ke Prof Santos mengingat Sang Guru Besar ini sejatinya hanya merangkai-rangkai fiksi tentang Atlantis dan mengait-ngaitkannya dengan fakta akan kepulauan Indonesia tanpa berdasarkan sumber data yang valid. Apalagi melakukan analisis data. Demikian pendapat Prof Harry Truman Simanjutak. Arkeolog senior yang juga mantan punggawa Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI).
Dari sudut pandang ilmu kebumian celah lemah hipotesis Atlantis-nya Santos terbuka lebar di banyak tempat. Sebut saja misalnya letusan katastrofik gunung Toba yang ternyata terjadi 74,5 ribu tahun silam atau jauh sebelum masa penenggelaman Atlantis versi Santos.
Pun demikian dengan letusan katastrofik Krakatau yang ternyata baru pertama kali terjadi pada abad ke-4 atau 5 Masehi. Sebagaimana dicatat dalam kita Pustaka Raja Purwa. Atau jauh lebih kemudian dibanding waktu 11,6 ribu tahun.
Letusan Krakatau itu demikian dahsyat. Melebihi letusan 1883 dan menyebabkan gunung api besar yang berdiri di antara Sumatera dan Jawa dengan puncak diduga setinggi 4.000 m runtuh membentuk kaldera raksasa sembari menerbitkan gelombang tsunami pembunuh nan luar biasa. Dahsyatnya letusan ini membuat tanah genting penghubung Sumatera dan Jawa menjadi lenyap.

Namun, letusan-letusan gigantis gunung api tidak pernah dikaitkan dengan terjadinya pelelehan es kutub. Karena, sebaran debu-debu vulkanik di atmosfer justru mereduksi intensitas sinar Matahari yang jatuh ke Bumi sehingga terjadi penurunan suhu global (global cooling) yang pada gilirannya justru membekukan air laut menjadi es. Khususnya di daerah lintang kutub dan lintang tinggi.
Letusan Toba 74,5 ribu tahun silam, misalnya, ditengarai memerosotkan suhu Bumi hingga rata-rata 20 derajat Celcius dari semula. Sekaligus mendorong Bumi dengan kuatnya ke dalam salah satu episode zaman es.
Namun, terlepas dari kontroversi hipotesis dan banyaknya celah lemah dalam argumennya, Prof Santos sejatinya telah memantik perasaan bersama yang telah lama hilang dari bumi Nusantara. Kebanggaan akan keindonesiaan kita. Kebanggaan kita. Sebagai bagian dari lebih 200 juta manusia yang hidup dalam tanah yang terberkati dengan kesuburan, kaya dengan mineral bahan tambang, energi, dan sumber daya terbarukan serta posisi silang yang unik dalam konstelasi dunia. Baik secara geografis, oseanografis, klimatologis, maupun geologis.
Ada banyak aspek tanah Nusantara yang telah terkuak, namun lebih banyak lagi yang masih belum kita ketahui. Dan banyak pula yang telah kita ketahui, yang semula dianggap sudah menjadi pengetahuan baku, ternyata harus direvisi dan dirombak total seiring dengan
informasi baru yang diperoleh dari penyelidikan terbaru.
Ambil contoh misalnya pada Candi Borobudur. Salah satu karya agung nenek moyang kita. Pengetahuan lama yang dipantik oleh van Bemmelen menyebut candi di puncak bukit ini runtuh dan terkubur akibat letusan gigantis Gunung Merapi purba pada 1006 M yang merontokkan sayap barat daya gunung hingga mengambrolkan puncak dan mengalir keras ke barat daya sampai membentur Pegunungan Menoreh hingga akhirnya membentuk perbukitan Gendol yang sekaligus mengubur Danau Borobudur dan candinya sekaligus.
Peristiwa ini dinisbatkan van Bemmelen sebagai titik migrasi kerajaan di Jawa Tengah menuju Jawa Timur. Van Bemmelen memang beranggapan bahwa kasus runtuhnya salah satu sayap gunung berapi di Indonesia merupakan hal yang umum. Setelah ia demikiant erpesona dengan ambrolnya sayap Papandayan dalam letusan 1772 yang mengubur ribuan jiwa.
Namun, penyelidikan-penyelidikan terbaru menunjukkan peristiwa menggidikkan tersebut sebenarnya tak pernah terjadi: perbukitan Gendol ternyata sudah terbentuk jauh hari sebelum munculnya Merapi purba. Sedimen-sedimen di bekas Danau Borobudur tidak menunjukkan proses sedimentasi massif sekali waktu namun berulang-ulang dalam jangka waktu lama lewat mekanisme lahar dingin dan tiada endapan batuan sangat kaya akan asam di lereng Merapi. Bebatuan yang seharusnya ada jika terjadi letusan besar.
Dan, coba bandingkan dengan kisah Danau Bandung yang kini menjadi daratan bernama Kota Bandung. Van Bemmelen pula yang berasumsi danau raksasa ini surut akibat bobolnya dinding danau sebelah utara di gua Sangiangtikoro. Namun, analisis geomorfologi terkini menunjukkan gua yang menjadi tempat mengalirnya Sungai Citarum di bawah tanah ini sama sekali tidak berperan dalam surutnya danau Bandung. Melainkan akibat proses erosi mudik yang menggerogoti pasiripis (hogback) antara bukit Pasir Kiara dan Puncak Laras. Tepat di belakang Sangiangtikoro.
Erosi mudik yang disebabkan oleh menurunnya permukaan air laut akibat zaman es sehingga Paparan Sunda muncul kembali sebagai daratan luas. Demikian intensif sehingga menggerogoti hogback yang tersusun dari batuan keras hingga mencapai garis pantai danau Bandung. Menciptakan air terjun raksasa dengan outflow jauh lebih besar ketimbang inflow danau Bandung.
Disadari atau tidak minat mengetahui isi bumi Nusantara meningkat pesat dalam lima tahun terakhir. Khususnya pasca bencana gempa megathrust Sumatera - Andaman 2004 yang menggetarkan jiwa siapa pun manusia Indonesia. Arus lalu lintas informasi dan traffic internet didominasi dengan kosakata "Pacific ring of fire" maupun "lempeng tektonik". Namun, peningkatan ini disertai mengapungnya atmosfer energi negatif di tanah Nusantara.
Banyak waktu yang habis untuk mengulas kosa kata-kosa kata tersebut dengan bencana, malapetaka, bangsa yang dihukum, bangsa yang diazab, dan sebagainya yang meningkat intensitasnya seiring terjadinya gempa-gempa bumi berikutnya. Terakhir pada 2009 lalu di pesisir Padang (Sumatera).
Ini membuat kita kian inferior dalam memandang diri dan keindonesiaan kita yang tak terlepas dari kegagalan kita menggapai tujuan berbangsa yang lebih baik dalam rezim orde reformasi. Ditambah dengan skandal Bank Century. Praktik kotor yang mengagetkan kita namun sekaligus menjerat kita ke dalam ketegangan, akumulasi emosi, dan potensi perpecahan yang kian memuncak akhir-akhir ini.
Semua seakan menunjukkan betapa negatifnya Indonesia. Betapa tak ada yang bisa dibanggakan negeri ini. Betapa enegi negatif adalah inheren dalam kehidupan bangsa ini. Seakan tiada lagi yang tersisa.

Kita tentu tak ingin hal itu berlangsung secara terus menerus. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu bangkit dari kesalahannya, dari inferioritasnya, hingga mencapai posisi yang membuatnya memiliki harga diri. Keindonesiaan kita bisa dibangkitkan lagi tidak dengan upacara. Namun, salah satunya dengan lebih mengenali negeri ini. Memahami keunikan-keunikan dan potensinya yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan umum. Mencapai tujuan Indonesia.
Semoga Atlantisnya Prof Santos, meski kotroversial dan lemah, menjadi salah satu pemantik kita untuk lebih mengetahui isi bumi Nusantara sekaligus menumbuhkan kembali keindonesiaan kita (dari Detik.com).

Sunday, February 21, 2010

Melihat Magelang Masa Lalu (3-habis)



Benar!!! Magelang Pusat Seni Rupa Terbesar di Dunia

Pembicara pada diskusi ‘’Visi Tata Ruang Kota Magelang’’ yang paling nyeleneh mungkin Oei Hong Djien dokter yang juga kolektor lukisan kondang. Orang asli Magelang yang biasa disapa OHD itu hidup di tiga generasi, masa penjajahan, revolusi dan era modern sekarang.

Dia mengaku bahagia karena bisa melihat Magelang zaman penjajahan, saat itu menjadi kota persinggahan dan pusat militer. Waktu kecil dia menceritakan pernah tinggal di Jl Tidar, banyak ruang publik yang digunakan bermaian bagik itu di kaki gunung tidar dan di bayeman.

Ruang hijau dan ruang publik banyak yang hilang, bahkan dibanding Kota Kudus menurutnya ketinggalan jauh. Padahal kota kretek itu dahulunya tandus dan gersang.

Dia sepakat ketika sekarang mulai menggeliatkan lagi Magelang sebagai kota pelajar dan kota transit juga Kota lukisan. Tapi ironisnya kondisi sekarang justru menjadi kota penuh ruko, baliho dan pedagang kaki lima. Menurutnya, kepentingan ekonomi tidak sinkron dengan budaya.

Padahal mengembangkan kota ruko pusat perekonomian kemudian ditinggalkan karena kurang menghasilkan. Bagaimana kalau kota hijau dan sejuk dikembangkan, maka akan lebih bergengsi.

Dia mencontohkan, di Austria kota kecil yang penuh dengan ruang hijau dan ruang publik yang indah. Magelang punya hutan dan gunung di dalam kota, potensi itu perlu didukung ruang hijau lain dan taman.

Geliat seni budaya juga mendukung cita-cita itu. Misalnya saja sebulan sebelum pameran atau pergelaran, seniman berlatih performance berbulan-bulan itu sudah menjadi bagian daya tarik wisata. Apakah masyarakatnya sudah siap befikir ke arah situ.

Menurutnya, Deddy Langgeng memiliki pusat seni rupa terlengkap di Indonesia bahkan dunia. Asal dikelola dengan baik dan didukung seluruh elemen masyarakat bisa mengembangkan ke arah pariwisata.

Dia juga mengusulkan bisa saja ada sebuah festival tahunan, menutup daerah pecinan. Berbagai geliat seni budaya selama sepekan di gelar di sana. Kawasan pedestrian yang bisa menarik wisatawan domestik dan luar negeri.’’Saya masih yakin jika dihijaukan dan ditata menjadi kota wisata Magelang akan bisa lebih baik,’’tambahnya.

Apa yang dibicarakan dalam diskusi mungkin saja masih dianggap sebagai sebuah wacana oleh pemerintah atau sebagian masyarakat. Hampir semua peserta yang hadir (para seniman, aktivis, akademisi, budayawan dan mahasiswa, wakil rakyat, pejabat), sepakat bahwa ke depan Magelang haruslah menjadi kota yang menjual keelokan panorama dan potensi geliat seni budayanya. Bukan menjadi hutan advertaising, dan ruko-ruko yang tak produkstif.

Apakah pernah membayangkan di Magelang memiliki aset seni rupa senilai Rp 2 triliun lebih tersimpan di rumah orang-orang kaya Magelang. Setiap tahunnya ada transaksi Rp 100-200 milyar rupiah. Ada banyak geleri seni rupa di kota getuk ini.

Salah satunya, di rumah OHD tersimpan 2000 lebih karya senirupa, 1.500 lebih lukisan, dan 500 lebih patung dan karya tiga dimensi. Karya sebanyak itu tersimpan rapi di rumahnya. Sebagian di plafon yang telah disulap menjadi tempat penyimpanan lukisan. Sebagian lagi dipajang di dua museum yang terletak di belakang rumahnya, yakni Museum Modern Art dan Museum Contemporary Art.(Sholahuddin al-Ahmed)

Melihat Magelang Masa Lalu (2)



Magelang yang Pernah Ditinggalkan Penduduknya
Magelang seperti cawan yang diapit dua sungai besar Elo dan Progo juga dikelilingi tujuh gunung menjadi daya tarik pergulatan peradaban dari zaman ke zaman. Dalam perjalanannya juga seringkali mengalami pasang surut.

Setelah masa kejayaan Hindu-Buddha, Magelang pernah ditinggalkan penduduknya karena letusan Gunung Merapi 1006. Wahyu Utami ST MT Peneliti Sejarah Arsitektur Kota Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menggunakan teori Van Bammelen dalam menganalisasa hilangnya peradaban di Magelang atau Kedu dan sekitarnya.

Dalam teori itu, menurutnya, Letusan Gunung Merapi disertai gempa berkekuatan dahsyat, hujan material vulkanik yang kesemuanya itu membentuk Gunung Gendol dan Pegunungan Menoreh.

Banyaknya korban meninggal menyebabkan wabah penyakit, sebagian orang yang selamat pindah keluar Magelang. Dia juga menggunakan asumsi lain, pindahnya penduduk Magelang, juga diakibatkan tanam paksa dan pembangunan candi pada Mataram kuno.

Pada saat itu ada perdebatan pembangunan Prambanan dan Borobudur, sebagian masyarakatnya terlibat dalam gotong-royong pembangunan dua candi itu. Karena pekerjaan yang tak pernah berhenti itu akhirnya Magelang ditinggalkan penduduknya.

Ada cerita legenda yang cukup menarik untuk membahas munculnya kembali Magelang dalam panggung sejarah, yang diawali dengan adanya usaha Panembahan Senapati untuk menguasai daerah Magelang yang diceritakan dalam Babad Alas Kedu.

Setelah mengalami kemunduran dan masa kejayaan, Magelang khususnya Bukit Tidar telah dikuasai oleh Raja Jin Sepanjang. Panembahan Senapati kemudian menyuruh beberapa tokoh masyarakat untuk membantu mengusir Raja Jin Sepanjang.

Muncullah kemudian Kyai Keramat yang membantu namun akhirnya tewas di daerah sebelah utara (keramat atau di Desa Kramat, sekarang). Kemudian Raja Jin Sepanjang lari ke arah Selatan dan dikejar oleh Nyai Bogem (tewas akhirnya muncul daerah Bogeman).

Patih Mertoyudo (tewas akhirnya muncul daerah Mertoyodan-salah satu Kecamatan di Kabupaten Magelang) dan Raden Krincing (tewas akhirnya muncul daerah Krincing, daerah di Kecamatan Secang Kabupaten Magelang). Menurut Wahyu, selain itu juga muncul nama-nama daerah sebagai basis pertempuran antara lain Bodongan, Plikon dan Geger.

Pembenahan dan pembangunan kota Magelang, lanjut dia, secara umum mengubah wajah Kota Magelang. Dahulu Belanda merias wajah kota dengan bangunan elok dan panorama gunung dan sawah yang indah menghampar.

Setidaknya, pembangunan itu selaras dengan Magelang yang memiliki potensi panorama alam yang kuat. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, pembangunan tak lagi mengindahkan masterplan peninggalan Belanda yang menitik beratkan pada perpaduan alam dan pembangunan.

‘’Pembangunan yang tak mengindahkan ruang hijau dan menggusur bangunan-bangunan kuno itu semakin gencar mulai tahun 2000. Sebelumnya saya meneliti di sini kondisinya masih bagus, meski sudah ada bangunan-banguan modern di mana-mana,’’katanya.

Dikatakannya, jika Magelang akan mengangkat keindahannya sebagai pontensi wisata maka pembangunan kotanya harus tetap konsisten pada pembangunan yang berbasis lingkungan. Kota Magelang bisa diangkat mendampingi kawasan wisata Borobudur, dengan potensi alam ruang hijau dan gunung tidarnya.

Sependapat dengan hal itu, pembicara lain dalam diskusi ruang publik Edy Soetrisno, Pengembang yang juga Anggota DPRD Kota Magelang, mengatakan jika Magelang ingin maju sudah selayaknya menghargai sejarah. Perjalanan dari abad ke abad Magelang kaya akan nilai sejarah yang ditinggalkan pendahulu.

‘’Ke depan harus bisa mengantisipasi pembangunan yang tak mengindahkan nilai-nilai sejarah itu. Harus berani melakukan gerakan moral, menyelamatkan warisan budaya itu,’’tambah Eddy.(Sholahuddin al-Ahmed)

Melihat Magelang Masa Lalu (1)



Keunikan Magelang dengan Tujuh Gunungnya

Melihat perjalanan massa lalu Magelang sungguh menarik, perjalanan waktu dari Hindu-Buddha kemudian pendudukan Inggris VOC dan Belanda hingga sekarang. Semua itu dikupas dalam diskusi borobudurlinks.com ‘’Visi Tata Ruang Kota Magelang’’, berikut laporan Sholahuddin al-Ahmed.

Ada yang menarik dari pemaparan Wahyu Utami ST MT (Peneliti Sejarah Arsitektur Kota Universitas Gajah Mada), salah satunya mengungkapkan adanya bukti sejarah bahwa Magelang atau Kedu sudah memulai peradabannya pada 78 M.

Berdasarkan sumber cerita rakyat diceritakan tentang datangnya serombongan orang Rum yang dipimpin Raja Pendeta Ngusmanaji mencoba masuk ke wilayah Jawa khususnya Kedu akan tetapi gagal karena terserang penyakit.

Rombongan kedua yang disengaja tanpa orang Rum yaitu dengan mendatangkan orang-orang Keling, Seiloh dan Siam, mencoba membuka lahan kembali yang dimulai ekspedisinya tahun 83 M dan pada tahun ke lima berhasil menguasai keadaan pada tahun 88 M. Kemudian mereka menancapkan tongkat tumbal di 5 lokasi di Jawa, salah satunya di Bukit Tidar oleh Syeh Subakir.

Kemudian dia meloncat menceritakan Magelang pada masa Mataram Kuno, bermula dari cerita Raja Sima yang sangat terkenal dari Kalingga melarikan diri karena gempuran dari kerajaan yang ada di Jawa Barat dan akhirnya mendapat tempat di Lereng Gunung Merapi (Prasasti Canggal), maka dimulailah babak baru berkembangnya kawasan Magelang sekarang ini.

Mataram Kuno di Magelang dimulai Raja Sanjaya yang membuat prasasti Canggal tahun 732 M, di Gunung Wukir, Lereng Gunung Merapi, Kabupaten Magelang kemudian menjadi Raja Mataram Kuno yang pertama.

Keberadaan prasasti itu, setidaknya menjelaskan Magelang dengan latar belakang Bukit Tidar sudah ada jauh sebelum berdirinya kerajaan baru yaitu Kerajaan Medang. Hal itu juga dikuatkan Prasasti Tuk Mas (Kabupaten Magelang) 500 M yang bercerita tentang adanya sumber air yang bersih yang disamakan dengan Sungai Gangga.

Zaman Mataram
Pada masa Kerajaan Mataram Hindhu, Magelang diperkirakan mulai dikenal lebih luas pada masa pemerintahan Rake Watukara Dyah Balitung (898-908 M) dengan memerdekakan beberapa daerah yang ada di Magelang mulai tahun 905 M yang tertuang dalam prasati Poh (905M).

Pada masa pemerintahan Raja Balitung istana Mataram Hindhu berada di daerah Medang I Poh Pitu (Kedu). Daerah yang dijadikan daerah perdikan adalah daerah Mantyasih dan Poh sebagai daerah untuk melakukan persembahan dengan dibangun Sima.

Peneliti yang juga kelahiran Magelang, itu mengurai tentang sesuatu dibalik Prasasti Mantyasih. Antara lain mengungkapkan fakta bahwa Kota Magelang mengawali sejarah sebagai desa perdikan ‘’Mantyasih’’ yang berarti beriman dalam cinta kasih dan di tempat itu terdapat lumpang batu yang diyakini masyarakat sebagai tempat upacara penetapan Sima atau perdikan.

Selain Prasasti Mantyasih juga sebelumnya telah ada Prasasti Poh yang terletak di Kampung Dumpoh (sekarang). Menurutnya, Magelang menjadi daya tarik karena letak geografisnya. Dikelilingi tujuh gunung antara lain, Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo dan Sumbing. Di aliri dua sungai besar, yakni Elo dan Progo.

Di tanah cekungan ini menurutnya, sejak dahulu merupakan hamparan tanah dipenuhi sawah dan hutan. Pada zaman dahulu itu menjadi magnet orang-orang untuk datang dan bercocok tanam.

Pada zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC Magelang dijadikan markasnya. Pada zaman penjajahan Belanda, juga dijadikan pusat pemerintahan dan militer.

‘’Pada masa penjajahan orang-orang Belanda suka dengan Magelang membuat vila karena panorama indah pegunungan dan aliran sungai yang menjadi sumber penghidupan,’’katanya.

Dikatakannya, daya tarik Magelang dengan tujuh gunung dan dua sungai besar itu, kini justru tenggelam. Seiring dengan pembangunan gedung bertingkat dan alih fungsi persawahan dan ruang hijauh menjadi bangunan atau perumahan.

MEMBACA GOETHE DI TEGALREJO MAGELANG.


Oleh: Dorothea Rosa Herliany.

Borobudurlinks, 21 Februari 2010.
Pada bulan Februari 2010, Jawa tengah kedatangan tamu, Berthold Damshäuser, seorang dosen di universitas Bonn, pemimpin redaksi “Orientierungen” (Jurnal tentang Budaya-budaya Asia), dan penerjemah sastra, khususnya puisi. Ini adalah kedatangannya yang ke ke sekian sejak dia memprakarsai penerbitan “Seri Puisi Jerman” ke dalam bahasa Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini.
Ide penerbitan buku itu sendiri muncul dari adanya kesadaran bahwa segala usaha penyebaran karya sastra melalui terjemahan adalah sesuatu yang sangat berharga dan penuh makna, selain mempererat hubungan budaya antarbangsa. Sementara itu, mesti diakui hubungan Indonesia-Jerman belumlah maksimal. Itulah yang membuat Berthold merasa prihatin dan ide penerjemahan puisi-puisi itu terus-menerus menganggu pikirannya sejak tahun 90-an dan ingin bisa diwujudkan.
Akhirnya dengan kerjasama 3 lembaga Jerman yakni Kedubes Jerman dan Goethe-Institut (keduanya di Jakarta), dan Departemen Luar Negeri (di Berlin), gagasan itu terwujud dan sejak tahun 2002 publik pembaca Indonesia telah bisa menikmati dalam bahasa Indonesia puisi-puisi karya para pujangga besarJerman, seperti Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, Johann Wolfgang von Goethe dan Hans Magnus Enzensberger. Bersamaan dengan penerbitan buku-buku tersebut, Berthold yang juga seorang deklamator itu, atas bantuan Goethe Institut, melakukan tour pembacaan puisi ke berbagai kota di Indonesia. Tahun 2008: di UII-Jogya, UI-Jakarta, GoetheHaus-Jakarta, Univ Muhammadiyah-Malang, Goethe Institut-Bandung; tahun 2009: di Salihara-Jakarta, UAD-Jogya, KOmunitas Sahaja-Denpasar, Goethe Institut-Bandung, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa-Banten,Goethe-Institut-Jakarta. Dan tahun ini di Jateng, yakni mulai 22-25 Februari 2010. di Kudus (Universitas Sunan Muria), Semarang (universitas Diponegoro), Solo (taman Budaya Surakarta), dan Magelang (Pondok Pesantren Tegalrejo).

***
Mengapa acara di Magelang (25 Februari 2010 jam 20.00) dilangsungkan di Pondok Pesantren Tegalrejo? Hal ini erat kaitannya dengan puisi-puisi yang akan dibacakan Berthold dalam lawatannya ke Jateng kali ini dimana dia akan membaca puisi-puisi karya Johann Wolfgang von Goethe yang mengangkat pandangan Timur Barat yang hangat.

Yang kenal diri juga sang lain
Di sini pun kan menyadari:
Timur dan Barat berpilin
Tak terceraikan lagi.


Sajak ini sangat terkenal, ditulis oleh Goethe pada tahun 1826. Baris-baris puisi itu menunjukkan bahwa Goethe sangat sadar akan pentingnya dialog antarbudaya. Dan Goethe sendiri, melalui karya dan tindakannya, telah menjadikan dirinya jembatan antara Barat dan Timur. Terutama hubungan Goethe dengan wawasan Islam merupakan sebuah fenomena menakjubkan dalam kehidupannya. Sejak muda ia menaruh minat terhadap Islam, dan rasa hormat dan kagum terhadap agama itu dapat disaksikan dalam tulisannya, terutama dalam kumpulan puisi Diwan Barat-Timur yang dianggap salah satu dari mahakarya Goethe.
Sebagai pembangun jembatan antara Barat dan Timur, Goethe menduduki posisi istimewa di antara semua tokoh budaya Eropa. Dan, itu sebenarnya sangat menguntungkan bagi politik budaya luar negeri Jerman di negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Goethe ternyata seorang perintis dialog antara Barat dan Islam. Goethe telah memberi contoh kepada orang Barat, juga kepada orang Timur, mengenai cara terbaik dalam berurusan dengan agama dan budaya lain. Yakni dengan terbuka dan dengan kesediaan untuk memperkaya diri. Bagi Goethe, dikotomi antara Barat dan Timur sebenarnya tidak ada. Itu disampaikannya melalui puisi terkenalnya dalam mukadimah untuk Diwan Barat-Timur yang bunyinya sebagaimana saya kutipkan di atas. Namun, dengan menulis Diwan Barat-Timur tidaklah berarti Goethe menjadi pujangga Timur atau tiba-tiba kerkiblat kepada dunia timur belaka. Segala pemisahan antara Timur dan Barat, antara Nasrani dan Islam, dan seterusnya dan sebagainya, tidak berlaku bagi Goethe. Ia telah mencipta sesuai dengan ucapannya dalam „Mukadimah Diwan“ yang lebih lengkapnya berbunyi seperti ini:

Yang kenal diri juga sang lain
Di sini pun kan menyadari:
Timur dan Barat berpilin
Tak terceraikan lagi
Arif berayun penuh manfaat
Di antara dua dunia;
Melanglang timur dan barat
Mencapai hikmah mulia!


Dalam sebuah percakapan beberapa waktu lalu, Berthold Damshäuser menceritakan pengalamannya saat melakukan acara pembacaan puisi Goethe di beberapa tempat lain di Indonesia, “Saya sampaikan kepada tamu undangan yang hadir bahwa Goethe merasa diri lebih dekat dengan Islam daripada dengan agama Nasrani, suatu hal yang dapat dibuktikan berdasarkan tulisan Goethe sendiri. Mendengar itu peserta biasanya cukup kaget, tapi juga terpesona. Lebih lagi, bila dapat dibuktikan bahwa Goethe betul-betul mempelajari agama Islam, termasuk Al Quran, juga puisi sufi, dan menjadikannya ilham dalam berkarya. Reaksi terpesona dari khalayak merupakan dasar yang baik untuk menyampaikan juga bahwa Goethe menolak segala bentuk fundamentalisme agama, dan bahwa toleransi dalam keagamaan tidak terbatas pada agama-agama Abrahamitis saja.” ungkapnya.
Wawasan Islam cukup kuat dalam karya Goethe yang bertajuk Diwan Barat-Timur, Di sana tampak sekali simpati Goethe terhadap agama ini. Dalam puisi Ich sah, mit Staunen und Vergnügen („Aku memandang, takjub dan girang“) ia sebutkan Al Quran sebagai Khasanah suci sang ilmu, dan dalam Kitab Hikmah terdapat kalimat yang terkenal, yakni:

Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri
Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati.


***
Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) merupakan pujangga Jerman terbesar, juga tokoh paling gemilang dalam sejarah sastra dunia. Menurut Friedrich Nietzsche (1886) yang dijuluki sang jenius yang juga penyair dan filsuf Jerman besar generasi berikutnya, „Goethe bukan saja tokoh maha besar, ia adalah sebuah kebudayaan.“ Di negerinya sendiri, Goethe dipandang sebagai “pahlawan budaya.” Ribuan buku tentang Goethe telah ditulis para penulis-penulis dari berbagai negara di dunia, mulai dari analisis dan kajian atas karyanya, hingga biografi-biografi yang membicarakan tiap detil dari kehidupannya. Bahkan, juga telah ditulis "Kamus Goethe". Karenanya, tidaklah mengherankan jika lembaga kebudayan Jerman yang bertugas memperkenalkan bahasa dan budaya Jerman di berbagai penjuru dunia dinamakan atas namanya: Goethe-Institut.
Penyair ini adalah anak sulung dari delapan bersaudara, tetapi hanya ia dan adik perempuannya yang bertahan hidup. Goethe berasal dari keluarga burjuis beragama Protestan yang kaya, dan dibesarkan dalam keadaan makmur dan tenteram. Ayahnya, Johann Caspar Goethe, seorang ahli hukum, pada umur 32 tahun memperoleh warisan kekayaan sehingga tak lagi perlu bekerja dan dapat menikmati kehidupannya sebagai seorang cendekiawan dan pencinta kesenian yang juga tertarik pada masalah ilmu alam. Ia mengumpulkan hasil kesenian, artefak dan naturalia, serta memiliki perpustakaan dengan dua ribu jilid buku. Dalam suasana intelektual yang subur demikianlah Johann Wolfgang dibesarkan. Bahkan ia didukung oleh ayahnya yang turun tangan sendiri menjadi guru bagi anaknya, di samping mempekerjakan berbagai guru privat, sehingga Johann Wolfgang tak pernah pergi ke sekolah umum. Dari situasi ini, dapat dibayangkan betapa luas dan intensif pendidikan Goethe muda. Antara lain, ia mempelajari berbagai bahasa (Latin, Yunani, Perancis, Inggris, dan Ibrani). Ia juga sejak muda diberi bacaan karya sastra dan karya filsafat, selain dilatih menari dan menunggang kuda.
Sejak awal Goethe tertarik pada sastra dan sudah mulai menulis puisi sejak ia berumur delapan tahun. Ia pun sangat tertarik kepada dunia teater, dan ayahnya mendukung minat anaknya dengan secara teratur mengadakan pertunjukan teater boneka di rumahnya. Dibekali pendidikan awal yang luar biasa itu, Goethe pada tahun 1765 meninggalkan Frankfurt dan atas perintah ayahnya mulai berkuliah di Jurusan Hukum Universitas Leipzig. Namun, Goethe yang umurnya ketika itu baru 16 tahun, kurang tertarik pada ilmu hukum dan agak malas memenuhi tugasnya sebagai mahasiswa jurusan hukum. Ia lebih suka mengikuti kuliah di bidang sastra. Selain itu, ia belajar melukis dan sibuk menulis karya sastra.
Sejak masa kanak hingga memasuki mas tuanya, telah lahir ribuan sajak Goethe. Mengenai puisi-puisinya, Goethe pernah mengatakan bahwa itu adalah merupakan "pecahan sebuah keyakinan yang menyeluruh".
Selain puisi-puisi karya Goethe, dalam tour puisinya ke Jawa Tengah yang didukung Goethe Institut Jakarta, Berthold juga akan memperkenalkan beberapa puisi karya Friedrich Nietzsche, filosof dan penyair Jerman yang juga terkemuka. Puisi Nietzsche telah selesai diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono. Rencananya pertengahan tahun ini buku itu akan diterbitkan dan akhir bulan September akan diadakan acara pembacaannya di kota-kota lain di Indonesia. (Dorothea Rosa Herliany, penyair Magelang -dari berbagai sumber)

Friday, February 12, 2010

RIWAYAT KLENTHENG LIONG HOK BIO MAGELANG.


Oleh: Bagoes Prijana.

Borobudurlinks, 12 Februari 2010. Pada tahun 1740 di Batavia terjadi peristiwa “Gegeran Cina”. Gubernur Jenderal VOC saat itu, ADRIAAN VALCKENIER yang menjabat dari tahun 1737-1741, melakukan kebijakan penangkapan terhadap orang Cina apabila dianggap membahayakan VOC. Hal ini terjadi karena banyaknya warga tionghoa yang menganggur dan melakukan gangguan keamanan. Akibatnya timbul ketidakpuasan di kalangan orang Cina dan terjadilah pertempuran antara orang Cina dan pasukan VOC. Pertempuran ini berlangsung selama 7 hari, dan mengakibatkan 600 rumah orang Cina terbakar dan sekitar 1000 orang Cina terbunuh.
Sebagian orang Cina yang selamat memilih melarikan diri keluar dari Batavia. Ada yang naik perahu menuju Semarang, lalu menuju ke Mataram meminta perlindungan pada Sunan Paku Buwana II. Sunan Paku Buwana II sendiri bersedia dengan diam-diam membantu orang-orang Cina dengan harapan dapat mengusir kompeni yang ada di Kartasura. Tetapi hal ini tidak terlaksana.
Satu rombongan kecil telah sampai di wilayah Kedu Selatan dan bertempat tinggal di desa Klangkang Jono, selatan kota Kutoarjo (yang sekarang disebut desa Jono). Pada waktu itu masalah agama belum begitu dipersoalkan, sehingga orang-orang Tionghoa (sebutan untuk orang Cina) masih taat menjalankan agamanya, terutama pemujaan terhadap Twa Pek Kong (Dewa Utama). Maka sewaktu mereka mengungsi, tak lupa Twa Pek Kong nya yaitu Hok Tek Tjen Sin (Tho Tee Kung) atau Dewa Bumi dibawa juga ke desa tersebut.
Sampai berpuluh-puluh tahun kehidupan warga desa tersebut hidup tenteram dan damai dengan mata pencaharian membuat terasi, kain tenunan, ataupun perdagangan kecil lainnya. Hingga pada tahun 1825 pecahlah perang Diponegoro yang menjalar sampai wilayah Kedu Selatan, termasuk Desa Klangkang Jono yang penduduknya tinggal terpencil. Terjadilah peristiwa-peristiwa yang mengusik ketentraman desa tersebut. Berkat pemimpinnya yang bijaksana bernama Kyai Singkir (nama aslinya The Ing Sing bergelar Bu Han Lim dari Tiongkok), warga desa dapat bertahan untuk sementara waktu.

Tapi seiring berjalannya waktu, keadaan menjadi semakin tak menentu. Sehingga memaksa mereka meninggalkan desanya. Hal ini terjadi setelah desa tersebut terkepung oleh gerombolan pengacau. Akhirnya Kyai Singkir bertarung mengadu kekuatan dan mampu mengalahkan pemimpin gerombolan pengacau yang mempunyai ilmu weduk (Ho Pwee bak).
Rombongan warga desa tersebut melarikan diri ke arah Magelang dengan menembus perbukitan Menoreh Salaman yang teramat terjal. Sesampai di Magelang, rombongan dibagi dua. Yang satu menetap di Magelang dan satunya lagi melanjutkan perjalanan menuju Parakan. Rombongan yang menetap di Magelang membawa Twa Pek Kong nya menuju kampung Ngarakan (sekarang sekitar rumah makan Kanton di Jl. Daha).
Sesudah perang Diponegoro selesai pada tahun 1830, telah datang ke Magelang seorang Tionghoa bernama Be Tjok Lok dari Solo. Oleh kompeni orang ini dianggap berjasa memerangi Diponegoro. Be Tjok Lo kemudian diangkat menjadi Luitenant/Letnan oleh pemerintah Belanda, dan dijadikan Pachter Candu dan rumah gadai (pandhuis) hingga menjadi hartawan yang kaya raya.
Setelah diangkat menjadi kapitan, Be Tjok Lok menyumbang sebagian tanahnya yang ada di sisi utara Pecinan untuk didirikan klentheng, yang setelah jadi diberi nama Liong Hok Bio. Kemudian pada tanggal 8 Juli 1864 masehi atau 10 lak gwee 2415 imlek Shio Tikus, Twa Pek kong nya dipindah dari Kampung Ngarakan ke klentheng itu. Sedangkan penamaan kampung Ngarakan berawal kata me-ngarak ,yaitu dari prosesi mengarak Cim Sin keliling kawasan pecinan bersama-sama dengan barongsai dan liong samsi.


Alkisah pada jaman dulu, di sekitar kampung Ngarakan tinggal seorang Tionghoa bernama Teng Koe yang termahsyur karena pernah melawan Belanda dalam membela dan menolong rakyat jelata. Hal ini dilakukan bersama-sama dengan sahabat karibnya yaitu seorang pribumi bernama Puspo. Karena sedemikian berjasanya,mereka berdua diabadikan menjadi nama kampung Tengkon dan gang Puspo (gang tempat tinggal Puspo).
Pada sekitar tahun 1864, orang-orang Tionghoa masih taat betul dengan tradisi Tionghoanya. Setiap ada pernikahan hampir semua pergi ke kelenteng. Begitupun pada hari sembahyang rebutan (Tiong gwan) selalu dibikin acara besar-besaran dan meriah. Antara lain mendirikan panggung 2 tingkat dengan gunungan besar dan kecil, berisi nasi tumpeng, beras, kambing dan babi. Di puncak gunungan ditaruh selendang pelangi dan banyak barang-barang yang diperebutkan. Bahkan diadakan tontonan yang mirip pasar malam.
Sudah tentu upacara ini memakan biaya yang besar, tetapi berkat bantuan dari masyarakat Tiong Hoa hal ini dapat teratasi. Bahkan uang sisa yang terkumpul, yang nilainya cukup besar, akhirnya dibelikan 3 petak rumah dengan persil Eigendom yang terletak di jl. Pemuda Selatan No. 53/55,57 & 59 . Waktu itu ke 3 rumah ini diurus oleh Kong Kwan Ki, sampai tahun 1906 saat didirikan Yayasan Tiong Hwa Hwee Kwan. Sehingga sesudahnya segala urusan kelenteng diserahkan pada yayasan ini.
Saat pertama kali berdiri kelenteng Liong Hok Bio dipimpin oleh Bio Kong [ketua] yang bernama Soe Tiauw Hok / Sie Kim Liang. Kemudian berturut-turut Liem Tiong Soe, Oei Djil Djing, Djwa Kie, dan The Djioe Lam. Saat itu keberadaan klentheng dan kehidupan umat Kong Hu Chu terasa gegap gempita. Berbagai acara tradisi dan ritual dan lain-lain diadakan secara rutin, seperti pementasan wayang potehi, barongsay, liong samsi, dan arak-arakan menjemput angpao, dll.
Namun seiring berkuasanya rezim ordebaru di bawah Soeharto, kehidupan dan peranan masyarakat keturunan China pada umumnya cenderung surut. Demikian juga dengan klentheng Liong Hok Bio. Tak banyak yang bisa dilakukan warga Tionghoa dan klenthengnya, khususnya dalam hal mengekspresikan kebudayaannya, yang dilarang oleh penguasa saat itu.
Baru kemudian setelah Soeharto tumbang, dan orde reformasi berkuasa, kehidupan warga Tionghoa dan klentheng pulih seperti sediakala. Presiden Abdurahman wahid (Gus Dur) mencabut UU yang membatasi warga Tionghoa mengekspresikan agama dan kebudayaannya. Kini kita semua bisa menikmati aneka ragam kebudayaan China itu tanpa batasan apa pun. Merdeka bung !! (bolinks@2010).

Thursday, February 11, 2010

RANGKAIAN ACARA IMLEK DI KLENTHENG LIONG HOK BIO.



Tak ketinggalan, warga pemeluk agama Khong Hu Chu di Magelang juga merayakan tahun baru Imlek 2651. Rangkaian acara yang berpusat di Klentheng LIONG HOK BIO, Jalan Alun-alun Selatan No.1, adalah sebagai berikut:

01. TOA PEKONG NAIK (PUNGGAHAN/SANG AN/SANG SIN).
Hari/tgl : Minggu, 7 Februari 2010 (Imlek 2560 Cap Jie Gwee 24).
Puja bakti :Dari pagi hari sampai malam/selesai.
Sembahyang bersama : Jam 20.000 WIB (dilanjutkan puja bakti).
Narasumber : Ardian Cangianto (Bogor).

02. PENCUCIAN KIEM SIN/RUPANG.
Hari/tgl : Senin, 8 Februari 2010 (Imlek 2560 Cap Jie Gwee 25).
Sembahyang Bersama : Jam 07.30 WIB.

03. SEMBAHYANG TUTUP TAHUN (TI SIK).
Hari/tgl : Sabtu, 13 Februari 2010 (Imlek 2560 Cap Jie Gwee 30).
Sembahyang Bersama : Jam 22.00 WIB.

04. SEMBAHYANG AWAL TAHUN/TAHUN BARU IMLEK 2561.
Hari/Tgl : Minggu, 14 Februari 2010 (Imlek 2561 Chia Gwee 01).
Sembahyang Bersama : Jam 00.00 WIB (Dini hari).
Dilanjutkan : * Pai Cia Bersama
• Jam 01.00 WIB Doa menyambut Dewa Rejeki (Ciek Jay Sen)
• Pembagian berkah Sincia.


05. TOA PEKONG TURUN (PUNDUNAN/CI ANG/CI SIN).
Hari/Tgl : Rabu, 17 Februari 2010 (Imlek 2561 Chia Gwee 04).
Sembahyang Bersama : Jam 20.00 WIB (Dilanjutkan penjabaran makna pujabakti).

06. SEMBAHYANG BESAR KEPADA TUHAN YME/KING DHI KONG.
Hari/Tgl : Minggu, 21 Februari 2010(Imlek 2561 Chia Gwee 08).
Sembahyang Bersama : * Jam 21.00 WIB Gai Thian (Pembukaan)
• Jam 00.00 WIB Pai Thian Kong (Sembahyang Besar Ke
Hadirat Tuhan Yang Maha Esa).
• Jam 01.30 WIB Sang Sien (Penutup).


07. KENAIKAN KWAN SING TEE KUN.
Hari/tgl : Jumat, 26 Februari 2010 (Imlek 2561 Chia Gwee 13).
Sembahyang Bersama : Jam 20.00 WIB (Dilanjutkan penjabaran makna pujabakti).

08. CAP GO MEH.
Hari/tgl : Minggu, 28 Februari 2010 (Imlek 2561 Chia Gwee 15).
Kirab Liong Samsi : Jam 11.00 WIB.
Sembahyang Pembukaan : Jam 17.00 WIB.
Ramah tamah & Hiburan : Jam 18.00 WIB.
Sembahyang Penutupan : Jam 23.00 WIB.

BALADA PEMBUAT BARONGSAI.


Oleh: Bagoes Prijana.

Borobudurlinks, 12 Februari 2010. Rambutnya sudah memutih, kulitnyapun sudah tak lagi kencang, sedangkan kalau berjalan pun sudah tak sekuat seperti waktu masih muda dulu. Tetapi Oom Andi (54), demikian sapaan lelaki ini, masih cekatan dalam merangkai barongsai. Ya, lelaki keturunan Tionghoa ini adalah pembuat barongsai, salah satu kesenian yang pernah dilarang keberadaannya selama orde baru. Dirumahnya di Jalan Daha 36 Tengkon Magelang, terpajang berbagai bentuk dan ukuran barongsai. Mulai yang terkecil, sedang, hingga yang besar.
Menurutnya, usaha pembuatan barongsai ini dimulai sejak tahun 1960-an. Dimana saat itu dia menjadi asisiten bagi kakeknya yang juga menjadi pembuat barongsai. Oom Andi, yang baru berusia 5-6 tahu, sering membantu kakeknya hingga dia terampil bisa membuat barongsai sendiri. Saat itu kakeknya mempunyai kelompok barongsai, sebagai upaya melestarikan kesenian leluhurnya. Kakeknya yang bernama Cou Thwan juga menjadi penabuh tambur pada wayang potehi di Semarang.
Barongsai atau samsi artinya singa. Dalam mitologi Cina hewan ini dipercaya sebagai penjaga rumah. Dalam gerakan tariannya, barongsay menggunakan pola dasar langkah kaki yakni melangkah 3 ganti mundur 4 langkah. Biasanya pemain ini dibawakan oleh 2 orang, seorang di depan sebagai pembawa kepala, dan seorang dibelakang sebagai pembawa badan bagian belakang/ekor. Dibutuhkan kerjasama yang baik dan kelincahan gerak kaki untuk membawakannya. Karena adakalanya barongsai beratraksi dengan meloncat diatas tiang balok setinggi 1-3 meter yang ditata sedemikian rupa.
Barongsai yang diproduksi oleh Oom Andi memakai bahan-bahan antara lain: bambu, karton, lem kuning, dempul mobil/kayu, cat dan lain-lain. Proses pembuatannya pun sangat sederhana. Biasanya untuk yang sudah ahli, bambu-bambu yang sudah disayat tipis dibentuk sesuai ukurannya sebagai kerangka utama. Setelah itu ditempeli dengan kertas karton dan didempul hingga rata. Terus di amplas dan diperhalus sesuai lekuk-lekuknya. Baru terakhir adalah mengecatnya dengan cat warna warni. Disamping itu juga ada yang memakai teknik cetakan, yaitu dengan membuat masternya dahulu baru setelah itu kertas karton ditempelkan. Setelah kering didempul dan diperhalus, akhirnya tinggal dicat.

Mengenai harga yang ditawarkannya cukup terjangkau. Yang memakai kerangka bambu dia memasang tarif Rp. 350. 000 – Rp. 2 juta,. Sedangkan yang model cetakan lebih murah lagi yaitu sebesar Rp. 25 ribu – Rp. 50 ribu. Hal ini terjadi karena untuk yang model cetakan hanya perlu waktu 2 minggu untuk menyelesaikannya, setelah itu cetakan bisa untuk membuat produksi selanjutnya. Beda dengan yang memakai kerangka bambu yang harus diselesaikannya sampai 3 minggu dan hanya bisa dibuat 1 barongsai saja.
Selain itu Oom Andi juga memproduksi kostum/pakaian barongsai. Mulai ukuran S,M dan L, serta dari bahan-bahan kain yang berkualitas, Pesanan mengalir tidak hanya dari dalam kota Magelang, tetapi juga dari luar kota seperti Temanggung, Yogya, Semarang dan lain-lain. Apalagi setelah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut larangan etnis Tionghoa mengekspresikan kesenian dan kebudayaannya. Kebijakan Gus Dur itu semakin menambah kepercayaan Om Andi, bahwa usahanya tetap akan eksis dan diminati orang.
Menurutnya ada 1 hal yang unik mengenai barongsai atau liong samsi. Walaupun kesenian ini berasal dari Tionghoa, tetapi para pelakunya sebagian besar warga pribumi ”Sekitar 70% pribumi dan 30% Tionghoa”, demikian kata Om Andi. Kebanggaan akan hal ini terpancar dari wajahnya yang menyiratkan bahwa proses akulturasi budaya telah terjadi dengan baik. Berarti kesenian barongsai dan liong samsi akan tetap bertahan lama karena diterima oleh masyarakat dengan tangan terbuka.
Tetapi di sisi lain dia juga ada kekhawatiran akan menurunnya minat kaum muda Tionghoa menjadi pelaku kesenian ini. Salah satu penyebab menurutnya adalah adanya anggapan yang menyebutkan bahwa di kelenteng sama saja berteman dengan naga, sehingga dilarang oleh pihak gereja. Hal inilah yang menjadi pengganjal bagi berkembangnya kesenian tradisional Tionghoa dikalangan kaumnya sendiri.
Bahkan Oom Andi juga bercerita, dulu di kelenteng Liong Hok Bio Magelang di sekitar tahun 1970-199 0,sering dipentaskan wayang kulit. Uniknya pentas ini di laksanakan selama 7 hari 7 malam tak pernah berhenti. Demikian juga dengan wayang Potehi, wayang khas Tionghoa yang mirip dengan wayang golek ini juga sangat diminati masyarakat saat itu.
Di usianya yang sudah lebih dari setengah abad in, Om Andi juga masih berkiprah membina kelompok barongsai dan liong samsi. Di kelompok ’Singa Mas’, Om Andi menjabat sebagai pelatih. Rasa tanggung jawabnya untuk tetap melanggengkan kesenian tradisional ini mengalahkan segalanya. Om Andi meyakini, kesenian liong samsi, barongsai, wayang potehi, ataupun kesenian tradisional Tionghoa lainnya pantas dilestarikan, karena merupakan warisan untuk anak cucunya di masa mendatang (bolinks@2010).

KENANGAN KECIL BERSAMA GUS DUR (01).



Oleh: Mualim M Sukethi.

Tahun 1983-85, Abdurahman Wahid alias Gus Dur (GD) terpilih sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Posisi memimpin lembaga kesenian ini bagi seorang kyai sekaligus Ketua PBNU (Pengurus Besar Nadhatul Ulama) tentu mengundang kontroversi tersendiri. Dari kalangan nadhiyin misalnya, Kyai Asaad dari Pasuruan berkomentar pedas, “Kyai kok mimpin ludruk (seni),” katanya. Sementara dari kalangan kesenian pun juga banyak komentar miring, yang mempertanyakan kadar kesenimanan GD.
Namun, seperti biasanya, GD cuek dengan segala komentar miring itu. Ia bekerja semestinya. Kemudian terbukti bahwa anggapan-anggapan miring itu ternyata keliru. GD adalah ulama yang memiliki wawasan luas tentang senibudaya. Ia memahami sastra setara dengan pemahamannya tentang Qur’an. Seleranya terhadap music sungguh beragam, dari dangdut pantura, gamelan, gambus, hingga Bethoven. Ia bisa dengan fasih bicara tentang Shakespeare, sefasih pemahamannya mengenai film-film Hollywood terkini.
Kiprah GD dalam memimpin lembaga kesenian (yang dulu) sangat bergengsi itu jelas memberi warna tersendiri. Banyak program senibudaya bernuansa Islami diadakan di lingkungan TIM itu. ‘Malam Solidaritas Palestina’ atau ’Malam Solidaritas Afganistan’, misalnya, menjadi acara penting yang diadakan secara regular.
Beberapa tokoh Islam ‘lahir’ dari acara-acara itu, antara lain Kyai Mustofa Bisri (Gus Mus), yang kemudian dikenal secara nasional setelah tampil dalam ‘malam Solidaritas Palestina’. Bahkan Achmad Sumargono, aktivis Islam garis keras yang terakhir sering berseberangan dengan GD, dulu juga sempat mengisi diskusi-diskusi yang diadakan DKJ semasa GD.
Dari acara 'malam Palestina'uga lahir puisi karya Danarto 'Puputan Palestina’. Seingat saya, itu adalah puisi terbaik hingga sekarang, tentang penderitaan dan kegigihan perjuangan rakyat Palestina. Jadi ketika ketika yang lain masih 'tertidur' tentang penderitaan rakyat Palestina, GD dengan caranya sendiri telah menorehkan simpatinya.
Mengenai hubungan Islam dan kesenian, saya tidak pernah lupa cerita GD ketika nyantri di Pesantren Tegalrejo, Magelang. Saat itu, tahun 50-an, dating serombongan warga desa menghadap Mbah Kyai Chudori, pemimpin pesantren. Mereka mohon pertimbangan untuk memilih membeli gamelan yang saat itu ditawarkan dengan harga murah, atau membangun mesjid, sementara dana kas desa terbatas.
Kita semua pasti menduga, Mbah Kyai akan memilih untuk membangun mesjid. Ternyata keliru. Ternyata Mbah Kyai menyarankan untuk membeli gamelan lebih dulu. Alasannya? Membangun mesjid bias kapan saja, selama umat Islam meyakini Allah, maka mesjid akan terbangun. Sementara gamelan berharga murah tidak setiap saat ada. Dan dengan gamelan itu, menurut Mbah Kyai, persatuan warga desa lebih terjaga.
Cerita ini kemudian seringkali diceritakan oleh GD, untuk menyadarkan masyarakat bahwa Islam senantiasa akomodatif dengan kearifan dan kebudayaan local. Maka tak heran kalau dari seorang GD lahir semangat ‘pribuminasi Islam’. Kini cerita itu juga sering dikutip oleh Gus Yusuf, cucu Mbah Kyai Chudori, yang kini mengasuh Pesantren Tegalrejo.
(Dulu, semasa Gus Dur memimpin DKJ, saya sering berbincang-bincang dengan beliau, dalam posisi saya sebagai aktivis mahasiswa IKJ. Dalam suatu kesempatan saya sempat mencicipi sisa kopi dari gelas Gus Dur, tentu tanpa sepengetuan beliau. Sesuai keyakinan Islam, saya percaya dengan cara itu akan beroleh berkah dari GD. Memang kemudian sejarah hidup saya tak sebesar GD. Tapi saya yakin berkah itu saya peroleh, yang terwujud pada keyakinan saya akan keberagaman (pluralism), baik dalam kehidupan beragama, mau pun kehidupan social politik lainnya). (@bolinks2010).

Tuesday, February 9, 2010

DISKUSI ‘VISI TATA RUANG KOTA MAGELANG’.




Borobudurlinks, 9 Februari 2010. Satu tahapan baru dalam upaya mendinamisasikan kehidupan kebudayaan di kota Magelang akan dicoba dilakukan oleh www.borobudurlinks.com, dalam bentuk diskusi bulanan. Ide untuk mengadakan kegiatan diskusi ini berangkat dari keprihatinan melihat perkembangan wacana budaya, di kota Magelang, yang relative kurang menggembirakan. Tidak seimbang dengan gerak senibudaya, yang dipermukaan terasa gegap gempita.
Kurangnya pemahaman tentang pentingnya wacana juga terasa di sector kehidupan yang lain. Perkembangan masyarakat dan pembangunan kota bergerak tanpa arah atau visi yang jelas. Output yang dihasilkan pun relative tak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat, sebagai tujuan akhir dinamika pembangunan.
Target jangka pendek diadakannya diskusi ini, selama 5 bulan ke depan, adalah mencoba menawarkan visi bagi kepemimpinan kota Magelang, khususnya menjelang pilkada yang akan berlangsung dalam waktu dekat ini. Setidaknya ada 4-5 topik menyangkut isu-isu actual yang paling mendesak untuk dikaji, antara lain: Visi Tata Ruang, Visi Ekonomi, Visi Budaya, dan Visi Anti Korupsi.
Topik yang pertama, Visi Tata Ruang Kota Magelang, akan kami diskusikan pada hari Sabtu, tanggal 13 Februari 2010, bertempat di Museum Diponegoro (eks Karesidenan Kedu), Jalan Diponegoro No. 1 Kota Magelang. Khusus mengenai tempat, kami beruntung mendapat pinjaman tempat yang tergolong situs sejarah dan kebudayaan ini. Untuk itu kami berterimakasih kepada Kantor Disporabudpar Kota Magelang dan Kantor Bakorwil II Jateng, yang telah meminjami tempat itu.
Untuk diskusi kali ini, pembicara atau narasumber yang kami tampilkan adalah:
• WAHYU UTAMI, ST, MT. (Peneliti Sejarah Arsitektur Kota dari UGM)
• OEI HONG DJIEN, dokter (Kolektor Seni/Pemerhati Budaya Kota)
• EDDY SUTRISNO (Anggota DPRD Kota Magelang/Pengusaha Pengembang).

MASALAH.
Disadari atau tidak, kini, Magelang bukan lagi kota yang nyaman sebagai kota tetirah. Udaranya gerah tidak lagi sejuk seperti dulu. Padahal dulu, Ingris dan kemudian Belanda, membangun kota Magelang sebagai pemukiman dengan pertimbangan udaranya sejuk dan kondisi alam (topografi) yang indah. Selain tanahnya yang subur, dan pertimbangan dari segi militer tentunya.
Penyebab perubahan iklim kota Magelang bisa ditelisik dari berbagai faktor. Pemanasan global, misalnya, bisa dituding menjadi salah satu penyebab perubahan itu. Namun yang juga tak boleh diabaikan adalah factor pembangunan kota Magelang sendiri, yang cenderung mengabaikan tata ruang yang sehat.
Dulu, pemerintahan colonial Inggris dan Belanda telah meletakkan dasar-dasar tata ruang kota yang sehat dan terencana sebagai kota modern. Alun-alun sebagai pusat kota, sebelah barat kota sebagai pemukiman, sebelah timur kota sebagai sarana militer, dan di tengah-tengah dari utara ke selatan sebagai zona ekonomi meliputi perkantoran, pertokoan, dan perdagangan (lihat: “Sejarah dan Pola Perkembangan Kota Magelang” di www.borobudurlinks.com ).
Namun, sejak kemerdekaan hingga kini, perkembangan kota Magelang cenderung tak terencana dan tak terkendali. Kota yang sempit itu, karena secara alamiah dibatasi sungai Elo dan Progo, kini dijejali berbagai bangunan, khususnya bangunan ekonomi. Pemukiman penduduk di dalam kota semakin padat, hampir tanpa menyisakan ruang terbuka hijau (RTH) sama sekali.
Kampung-kampung seperti Magersari, Karang Lor/Kidul/Gading, Kemirikerep/Rejo, Tidar, Jenangan, Juritan, Panjang, hingga Wates dan Menowo, kini dijejali rumah tanpa halaman. Semua tanah ditutup beton, tanpa memikirkan bahwa tanah-tanah itu juga butuh ‘bernafas’. Di kampung-kampung itu kini sulit ditemukan tegakan pohon, atau gerumbul semak, apalagi taman sarana bermain dengan perdu bunga warna-warni.
Dulu, pemerintah Belanda membangun berbagai RTH atau public area yang terkonsep dengan baik, antara lain Alun-alun, Stadion Abu bakrin, Taman Gladiol, Taman Badaan, Lapangan RIN, dll. Kini, satu persatu RTH itu digusur atau berubah fungsi. Taman Gladiol berubah jadi perumahan mewah. Sementara Stadion Abubakrin (gosipnya) sebentar lagi juga berubah jadi pusat perbelanjaan.
Beruntung Magelang memiliki lapangan atau sarana latihan militer yang hingga kini masih terawat dan berfungsi dengan baik sebagai RTH, seperti lapangan RIN, lapangan golf Borobudur, bukit Tidar, dll. Kalau tidak ada berbagai sarana militer itu, bisa dibayangkan betapa kering-kerontangnya kota Magelang.
Persoalan lain terkait tata ruang kota, yang juga membuat wajah kota Magelang terkesan semawrut adalah serbuan Pedagang Kaki Lima (PKL) di setiap sudut kota. Rasanya sekarang ini hampir seluruh jalanan di kota Magelang tak terbebas dari jarahan PKL. Apalagi sejak pasar Rejowinangun terbakar, dan hingga kini tak jelas kapan akan dibangun kembali. Mungkin hanya di lingkungan militer yang relative bersih dari PKL.
Fenomena urban lain, selain PKL, yang cukup mengganggu kebersihan dan keindahan kota Magelang adalah keberadaan media luar ruang (MLR-outdoor advertisement) berbetuk baliho, banner, spanduk, neonsign, dll. Mungkin, karena persoalan tata ruang yang tidak terencana dengan baik, kurangnya koordinasi antara pihak-pihak terkait, atau factor selera rendah masing-masing pihak, maka keberadaan sarana promosi yang ada di lokasi-lokasi strategis itu, terasa kurang sedap dipandang mata.
Memang persoalan tata ruang tak bisa dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu kota. Tapi tidak berarti sebuah kota menjadi mata gelap, menghalalkan segala cara, semata-mata demi mengejar perolehan ekonomi atau Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tetap dibutuhkan etika dan estetika untuk membangun sebuah kota. Tentu, untuk keperluan itu semua dibutuhkan sebuah pemerintahan yang memiliki visi atau konsep yang jelas tentang ruang kota, masyarakat, dan pemanfaatannya demi kemaslahatan semua pihak. Yang mampu menjaga dan menciptakan ruang kota yang bermanfaat dan bermartabat.

Dari paparan di atas, kiranya dapat ditarik beberapa persoalan, antara lain:

• Apakah benar telah terjadi degradasi ruang public dan RTH di kota Magelang ?
• Seandainya tidak dapat dikendalikan, sampai kapan ruang kota Magelang mampu menampung beban pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi ?
• Bagaimana memperlakukan PKL secara layak, sebagai bagian dari penataan ruang kota Magelang yang sehat ?
• Bagaimana kiat-kiat yang bisa dilakukan agar mampu menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan ?
• Visi seperti apa yang dibutuhkan untuk menciptakan tata ruang kota Magelang yang bermanfaat dan bermartabat ?
• Dan lain-lain.
Pertanyaan-pertanyaan di atas dan berbagai pertanyaan lain yang berkaitan dengan masalah tata ruang kota Magelang, itu akan dibahas dan dicari jawabnya dalam forum diskusi yang akan kami adakan. Diskusi ini akan mengawali serangkaian diskusi yang akan kami adakan setiap bulan, sebagai bagian dari upaya menginventarisasi, mengangkat, sekaligus mencari jawaban berbagai persoalan yang dihadapi kota dan kabupaten Magelang. Inventarisasi masalah serta usulan pemecahannya akan kami persembahkan sebagai bagian dari dedikasi kami kepada pihak-pihak yang berkepentingan di Magelang.


PELAKSANA PROGRAM.

Pelaksana program adalah www.borobudurlinks.com , sebuah media online (portal) yang memfokuskan pemberitaannya pada dinamika senibudaya dan pariwisata Magelang.

Tim Pekerja:
Mualim M Sukethi (Currator/bronidog@yahoo.com/081586756889)
Sholahuddin Alahmed (Coordinator/esakata08@yahoo.com/081392611137)
Agung Dragon (Traffict/kotatoea_mgl@plaza.com/087832626269)
Ardhi Gunawan (Public Affairs/08562917808)

Alamat Sekretariat:
www.borobudurlinks.com
Jalan Logam No.33 Magersari Magelang 56126
Tlp. 081586756889 / 081392611137.
Email : bronidog@yahoo.com atau esakata08@yahoo.com
Website: www.borobudurlinks.com