Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Friday, February 12, 2010

RIWAYAT KLENTHENG LIONG HOK BIO MAGELANG.

/ On : 1:15 AM/ Terimakasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang sederhana ini. Semoga memberikan manfaat meski tidak sebesar yang Anda harapakan. untuk itu, berikanlah kritik, saran dan masukan dengan memberikan komentar. Jika Anda ingin berdiskusi atau memiliki pertanyaan seputar artikel ini, silahkan hubungan saya lebih lanjut via e-mail di herdiansyah_hamzah@yahoo.com.

Oleh: Bagoes Prijana.

Borobudurlinks, 12 Februari 2010. Pada tahun 1740 di Batavia terjadi peristiwa “Gegeran Cina”. Gubernur Jenderal VOC saat itu, ADRIAAN VALCKENIER yang menjabat dari tahun 1737-1741, melakukan kebijakan penangkapan terhadap orang Cina apabila dianggap membahayakan VOC. Hal ini terjadi karena banyaknya warga tionghoa yang menganggur dan melakukan gangguan keamanan. Akibatnya timbul ketidakpuasan di kalangan orang Cina dan terjadilah pertempuran antara orang Cina dan pasukan VOC. Pertempuran ini berlangsung selama 7 hari, dan mengakibatkan 600 rumah orang Cina terbakar dan sekitar 1000 orang Cina terbunuh.
Sebagian orang Cina yang selamat memilih melarikan diri keluar dari Batavia. Ada yang naik perahu menuju Semarang, lalu menuju ke Mataram meminta perlindungan pada Sunan Paku Buwana II. Sunan Paku Buwana II sendiri bersedia dengan diam-diam membantu orang-orang Cina dengan harapan dapat mengusir kompeni yang ada di Kartasura. Tetapi hal ini tidak terlaksana.
Satu rombongan kecil telah sampai di wilayah Kedu Selatan dan bertempat tinggal di desa Klangkang Jono, selatan kota Kutoarjo (yang sekarang disebut desa Jono). Pada waktu itu masalah agama belum begitu dipersoalkan, sehingga orang-orang Tionghoa (sebutan untuk orang Cina) masih taat menjalankan agamanya, terutama pemujaan terhadap Twa Pek Kong (Dewa Utama). Maka sewaktu mereka mengungsi, tak lupa Twa Pek Kong nya yaitu Hok Tek Tjen Sin (Tho Tee Kung) atau Dewa Bumi dibawa juga ke desa tersebut.
Sampai berpuluh-puluh tahun kehidupan warga desa tersebut hidup tenteram dan damai dengan mata pencaharian membuat terasi, kain tenunan, ataupun perdagangan kecil lainnya. Hingga pada tahun 1825 pecahlah perang Diponegoro yang menjalar sampai wilayah Kedu Selatan, termasuk Desa Klangkang Jono yang penduduknya tinggal terpencil. Terjadilah peristiwa-peristiwa yang mengusik ketentraman desa tersebut. Berkat pemimpinnya yang bijaksana bernama Kyai Singkir (nama aslinya The Ing Sing bergelar Bu Han Lim dari Tiongkok), warga desa dapat bertahan untuk sementara waktu.

Tapi seiring berjalannya waktu, keadaan menjadi semakin tak menentu. Sehingga memaksa mereka meninggalkan desanya. Hal ini terjadi setelah desa tersebut terkepung oleh gerombolan pengacau. Akhirnya Kyai Singkir bertarung mengadu kekuatan dan mampu mengalahkan pemimpin gerombolan pengacau yang mempunyai ilmu weduk (Ho Pwee bak).
Rombongan warga desa tersebut melarikan diri ke arah Magelang dengan menembus perbukitan Menoreh Salaman yang teramat terjal. Sesampai di Magelang, rombongan dibagi dua. Yang satu menetap di Magelang dan satunya lagi melanjutkan perjalanan menuju Parakan. Rombongan yang menetap di Magelang membawa Twa Pek Kong nya menuju kampung Ngarakan (sekarang sekitar rumah makan Kanton di Jl. Daha).
Sesudah perang Diponegoro selesai pada tahun 1830, telah datang ke Magelang seorang Tionghoa bernama Be Tjok Lok dari Solo. Oleh kompeni orang ini dianggap berjasa memerangi Diponegoro. Be Tjok Lo kemudian diangkat menjadi Luitenant/Letnan oleh pemerintah Belanda, dan dijadikan Pachter Candu dan rumah gadai (pandhuis) hingga menjadi hartawan yang kaya raya.
Setelah diangkat menjadi kapitan, Be Tjok Lok menyumbang sebagian tanahnya yang ada di sisi utara Pecinan untuk didirikan klentheng, yang setelah jadi diberi nama Liong Hok Bio. Kemudian pada tanggal 8 Juli 1864 masehi atau 10 lak gwee 2415 imlek Shio Tikus, Twa Pek kong nya dipindah dari Kampung Ngarakan ke klentheng itu. Sedangkan penamaan kampung Ngarakan berawal kata me-ngarak ,yaitu dari prosesi mengarak Cim Sin keliling kawasan pecinan bersama-sama dengan barongsai dan liong samsi.


Alkisah pada jaman dulu, di sekitar kampung Ngarakan tinggal seorang Tionghoa bernama Teng Koe yang termahsyur karena pernah melawan Belanda dalam membela dan menolong rakyat jelata. Hal ini dilakukan bersama-sama dengan sahabat karibnya yaitu seorang pribumi bernama Puspo. Karena sedemikian berjasanya,mereka berdua diabadikan menjadi nama kampung Tengkon dan gang Puspo (gang tempat tinggal Puspo).
Pada sekitar tahun 1864, orang-orang Tionghoa masih taat betul dengan tradisi Tionghoanya. Setiap ada pernikahan hampir semua pergi ke kelenteng. Begitupun pada hari sembahyang rebutan (Tiong gwan) selalu dibikin acara besar-besaran dan meriah. Antara lain mendirikan panggung 2 tingkat dengan gunungan besar dan kecil, berisi nasi tumpeng, beras, kambing dan babi. Di puncak gunungan ditaruh selendang pelangi dan banyak barang-barang yang diperebutkan. Bahkan diadakan tontonan yang mirip pasar malam.
Sudah tentu upacara ini memakan biaya yang besar, tetapi berkat bantuan dari masyarakat Tiong Hoa hal ini dapat teratasi. Bahkan uang sisa yang terkumpul, yang nilainya cukup besar, akhirnya dibelikan 3 petak rumah dengan persil Eigendom yang terletak di jl. Pemuda Selatan No. 53/55,57 & 59 . Waktu itu ke 3 rumah ini diurus oleh Kong Kwan Ki, sampai tahun 1906 saat didirikan Yayasan Tiong Hwa Hwee Kwan. Sehingga sesudahnya segala urusan kelenteng diserahkan pada yayasan ini.
Saat pertama kali berdiri kelenteng Liong Hok Bio dipimpin oleh Bio Kong [ketua] yang bernama Soe Tiauw Hok / Sie Kim Liang. Kemudian berturut-turut Liem Tiong Soe, Oei Djil Djing, Djwa Kie, dan The Djioe Lam. Saat itu keberadaan klentheng dan kehidupan umat Kong Hu Chu terasa gegap gempita. Berbagai acara tradisi dan ritual dan lain-lain diadakan secara rutin, seperti pementasan wayang potehi, barongsay, liong samsi, dan arak-arakan menjemput angpao, dll.
Namun seiring berkuasanya rezim ordebaru di bawah Soeharto, kehidupan dan peranan masyarakat keturunan China pada umumnya cenderung surut. Demikian juga dengan klentheng Liong Hok Bio. Tak banyak yang bisa dilakukan warga Tionghoa dan klenthengnya, khususnya dalam hal mengekspresikan kebudayaannya, yang dilarang oleh penguasa saat itu.
Baru kemudian setelah Soeharto tumbang, dan orde reformasi berkuasa, kehidupan warga Tionghoa dan klentheng pulih seperti sediakala. Presiden Abdurahman wahid (Gus Dur) mencabut UU yang membatasi warga Tionghoa mengekspresikan agama dan kebudayaannya. Kini kita semua bisa menikmati aneka ragam kebudayaan China itu tanpa batasan apa pun. Merdeka bung !! (bolinks@2010).

No comments:

Post a Comment