Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Sunday, February 21, 2010

MEMBACA GOETHE DI TEGALREJO MAGELANG.

/ On : 1:28 PM/ Terimakasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang sederhana ini. Semoga memberikan manfaat meski tidak sebesar yang Anda harapakan. untuk itu, berikanlah kritik, saran dan masukan dengan memberikan komentar. Jika Anda ingin berdiskusi atau memiliki pertanyaan seputar artikel ini, silahkan hubungan saya lebih lanjut via e-mail di herdiansyah_hamzah@yahoo.com.

Oleh: Dorothea Rosa Herliany.

Borobudurlinks, 21 Februari 2010.
Pada bulan Februari 2010, Jawa tengah kedatangan tamu, Berthold Damshäuser, seorang dosen di universitas Bonn, pemimpin redaksi “Orientierungen” (Jurnal tentang Budaya-budaya Asia), dan penerjemah sastra, khususnya puisi. Ini adalah kedatangannya yang ke ke sekian sejak dia memprakarsai penerbitan “Seri Puisi Jerman” ke dalam bahasa Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini.
Ide penerbitan buku itu sendiri muncul dari adanya kesadaran bahwa segala usaha penyebaran karya sastra melalui terjemahan adalah sesuatu yang sangat berharga dan penuh makna, selain mempererat hubungan budaya antarbangsa. Sementara itu, mesti diakui hubungan Indonesia-Jerman belumlah maksimal. Itulah yang membuat Berthold merasa prihatin dan ide penerjemahan puisi-puisi itu terus-menerus menganggu pikirannya sejak tahun 90-an dan ingin bisa diwujudkan.
Akhirnya dengan kerjasama 3 lembaga Jerman yakni Kedubes Jerman dan Goethe-Institut (keduanya di Jakarta), dan Departemen Luar Negeri (di Berlin), gagasan itu terwujud dan sejak tahun 2002 publik pembaca Indonesia telah bisa menikmati dalam bahasa Indonesia puisi-puisi karya para pujangga besarJerman, seperti Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, Johann Wolfgang von Goethe dan Hans Magnus Enzensberger. Bersamaan dengan penerbitan buku-buku tersebut, Berthold yang juga seorang deklamator itu, atas bantuan Goethe Institut, melakukan tour pembacaan puisi ke berbagai kota di Indonesia. Tahun 2008: di UII-Jogya, UI-Jakarta, GoetheHaus-Jakarta, Univ Muhammadiyah-Malang, Goethe Institut-Bandung; tahun 2009: di Salihara-Jakarta, UAD-Jogya, KOmunitas Sahaja-Denpasar, Goethe Institut-Bandung, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa-Banten,Goethe-Institut-Jakarta. Dan tahun ini di Jateng, yakni mulai 22-25 Februari 2010. di Kudus (Universitas Sunan Muria), Semarang (universitas Diponegoro), Solo (taman Budaya Surakarta), dan Magelang (Pondok Pesantren Tegalrejo).

***
Mengapa acara di Magelang (25 Februari 2010 jam 20.00) dilangsungkan di Pondok Pesantren Tegalrejo? Hal ini erat kaitannya dengan puisi-puisi yang akan dibacakan Berthold dalam lawatannya ke Jateng kali ini dimana dia akan membaca puisi-puisi karya Johann Wolfgang von Goethe yang mengangkat pandangan Timur Barat yang hangat.

Yang kenal diri juga sang lain
Di sini pun kan menyadari:
Timur dan Barat berpilin
Tak terceraikan lagi.


Sajak ini sangat terkenal, ditulis oleh Goethe pada tahun 1826. Baris-baris puisi itu menunjukkan bahwa Goethe sangat sadar akan pentingnya dialog antarbudaya. Dan Goethe sendiri, melalui karya dan tindakannya, telah menjadikan dirinya jembatan antara Barat dan Timur. Terutama hubungan Goethe dengan wawasan Islam merupakan sebuah fenomena menakjubkan dalam kehidupannya. Sejak muda ia menaruh minat terhadap Islam, dan rasa hormat dan kagum terhadap agama itu dapat disaksikan dalam tulisannya, terutama dalam kumpulan puisi Diwan Barat-Timur yang dianggap salah satu dari mahakarya Goethe.
Sebagai pembangun jembatan antara Barat dan Timur, Goethe menduduki posisi istimewa di antara semua tokoh budaya Eropa. Dan, itu sebenarnya sangat menguntungkan bagi politik budaya luar negeri Jerman di negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Goethe ternyata seorang perintis dialog antara Barat dan Islam. Goethe telah memberi contoh kepada orang Barat, juga kepada orang Timur, mengenai cara terbaik dalam berurusan dengan agama dan budaya lain. Yakni dengan terbuka dan dengan kesediaan untuk memperkaya diri. Bagi Goethe, dikotomi antara Barat dan Timur sebenarnya tidak ada. Itu disampaikannya melalui puisi terkenalnya dalam mukadimah untuk Diwan Barat-Timur yang bunyinya sebagaimana saya kutipkan di atas. Namun, dengan menulis Diwan Barat-Timur tidaklah berarti Goethe menjadi pujangga Timur atau tiba-tiba kerkiblat kepada dunia timur belaka. Segala pemisahan antara Timur dan Barat, antara Nasrani dan Islam, dan seterusnya dan sebagainya, tidak berlaku bagi Goethe. Ia telah mencipta sesuai dengan ucapannya dalam „Mukadimah Diwan“ yang lebih lengkapnya berbunyi seperti ini:

Yang kenal diri juga sang lain
Di sini pun kan menyadari:
Timur dan Barat berpilin
Tak terceraikan lagi
Arif berayun penuh manfaat
Di antara dua dunia;
Melanglang timur dan barat
Mencapai hikmah mulia!


Dalam sebuah percakapan beberapa waktu lalu, Berthold Damshäuser menceritakan pengalamannya saat melakukan acara pembacaan puisi Goethe di beberapa tempat lain di Indonesia, “Saya sampaikan kepada tamu undangan yang hadir bahwa Goethe merasa diri lebih dekat dengan Islam daripada dengan agama Nasrani, suatu hal yang dapat dibuktikan berdasarkan tulisan Goethe sendiri. Mendengar itu peserta biasanya cukup kaget, tapi juga terpesona. Lebih lagi, bila dapat dibuktikan bahwa Goethe betul-betul mempelajari agama Islam, termasuk Al Quran, juga puisi sufi, dan menjadikannya ilham dalam berkarya. Reaksi terpesona dari khalayak merupakan dasar yang baik untuk menyampaikan juga bahwa Goethe menolak segala bentuk fundamentalisme agama, dan bahwa toleransi dalam keagamaan tidak terbatas pada agama-agama Abrahamitis saja.” ungkapnya.
Wawasan Islam cukup kuat dalam karya Goethe yang bertajuk Diwan Barat-Timur, Di sana tampak sekali simpati Goethe terhadap agama ini. Dalam puisi Ich sah, mit Staunen und Vergnügen („Aku memandang, takjub dan girang“) ia sebutkan Al Quran sebagai Khasanah suci sang ilmu, dan dalam Kitab Hikmah terdapat kalimat yang terkenal, yakni:

Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri
Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati.


***
Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) merupakan pujangga Jerman terbesar, juga tokoh paling gemilang dalam sejarah sastra dunia. Menurut Friedrich Nietzsche (1886) yang dijuluki sang jenius yang juga penyair dan filsuf Jerman besar generasi berikutnya, „Goethe bukan saja tokoh maha besar, ia adalah sebuah kebudayaan.“ Di negerinya sendiri, Goethe dipandang sebagai “pahlawan budaya.” Ribuan buku tentang Goethe telah ditulis para penulis-penulis dari berbagai negara di dunia, mulai dari analisis dan kajian atas karyanya, hingga biografi-biografi yang membicarakan tiap detil dari kehidupannya. Bahkan, juga telah ditulis "Kamus Goethe". Karenanya, tidaklah mengherankan jika lembaga kebudayan Jerman yang bertugas memperkenalkan bahasa dan budaya Jerman di berbagai penjuru dunia dinamakan atas namanya: Goethe-Institut.
Penyair ini adalah anak sulung dari delapan bersaudara, tetapi hanya ia dan adik perempuannya yang bertahan hidup. Goethe berasal dari keluarga burjuis beragama Protestan yang kaya, dan dibesarkan dalam keadaan makmur dan tenteram. Ayahnya, Johann Caspar Goethe, seorang ahli hukum, pada umur 32 tahun memperoleh warisan kekayaan sehingga tak lagi perlu bekerja dan dapat menikmati kehidupannya sebagai seorang cendekiawan dan pencinta kesenian yang juga tertarik pada masalah ilmu alam. Ia mengumpulkan hasil kesenian, artefak dan naturalia, serta memiliki perpustakaan dengan dua ribu jilid buku. Dalam suasana intelektual yang subur demikianlah Johann Wolfgang dibesarkan. Bahkan ia didukung oleh ayahnya yang turun tangan sendiri menjadi guru bagi anaknya, di samping mempekerjakan berbagai guru privat, sehingga Johann Wolfgang tak pernah pergi ke sekolah umum. Dari situasi ini, dapat dibayangkan betapa luas dan intensif pendidikan Goethe muda. Antara lain, ia mempelajari berbagai bahasa (Latin, Yunani, Perancis, Inggris, dan Ibrani). Ia juga sejak muda diberi bacaan karya sastra dan karya filsafat, selain dilatih menari dan menunggang kuda.
Sejak awal Goethe tertarik pada sastra dan sudah mulai menulis puisi sejak ia berumur delapan tahun. Ia pun sangat tertarik kepada dunia teater, dan ayahnya mendukung minat anaknya dengan secara teratur mengadakan pertunjukan teater boneka di rumahnya. Dibekali pendidikan awal yang luar biasa itu, Goethe pada tahun 1765 meninggalkan Frankfurt dan atas perintah ayahnya mulai berkuliah di Jurusan Hukum Universitas Leipzig. Namun, Goethe yang umurnya ketika itu baru 16 tahun, kurang tertarik pada ilmu hukum dan agak malas memenuhi tugasnya sebagai mahasiswa jurusan hukum. Ia lebih suka mengikuti kuliah di bidang sastra. Selain itu, ia belajar melukis dan sibuk menulis karya sastra.
Sejak masa kanak hingga memasuki mas tuanya, telah lahir ribuan sajak Goethe. Mengenai puisi-puisinya, Goethe pernah mengatakan bahwa itu adalah merupakan "pecahan sebuah keyakinan yang menyeluruh".
Selain puisi-puisi karya Goethe, dalam tour puisinya ke Jawa Tengah yang didukung Goethe Institut Jakarta, Berthold juga akan memperkenalkan beberapa puisi karya Friedrich Nietzsche, filosof dan penyair Jerman yang juga terkemuka. Puisi Nietzsche telah selesai diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono. Rencananya pertengahan tahun ini buku itu akan diterbitkan dan akhir bulan September akan diadakan acara pembacaannya di kota-kota lain di Indonesia. (Dorothea Rosa Herliany, penyair Magelang -dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment