Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Sunday, March 7, 2010

| | 0 comments | Read More

PAD dari Sektor Wisata



Melengkapi refleksi ekonomi, berikut kami tampilkan bagan pendapatan asli daerah PAD Kota Magelang dari sektor wisata.
| | 0 comments | Read More

Refleksi Ekonomi Kota Magelang HUT 1104


Menuju Kota Mungil yang Makmur

Pada hari jadinya yang ke-1104 yang jatuh pada 11 April 2010 Kota Magelang masih setia pada brandnya sebagai Kota Jasa, dengan harapan bisa mewujudkan impian warganya untuk hidup lebih makmur. Bagaimana kilas balik dan prospeknya, berikut laporan Sholahuddin al-Ahmed.

Kota kecil yang bersih dan asri, itulah kesan yang selalu melekat dengan Kota Magelang. Hijaunya Gunung Tidar memberikan kesejukan bagi warganya. Panorama Gunung Merapi, Merbabu dan Sumbing mengelili sudut-sudut kota, menyuguhkan keindahan eksotik.

Tebar pesona perkotaan yang berada pinggiran desa dan gunung menjadi potensi di sektor wisata. Potensi kekayaan alam berupa gunung dan sawah itu sebagian besar memang milik daerah tetangga, karena kota hanya memiliki potensi alam dan lahan serba terbatas untuk dikembangkan luas wilayahnya hanya 18,12 Km2.

Kota kecil berpenduduk 121.010 jiwa, tak menjadikan potensi ekonomi mati. Geliat perekonomiannya mampu mendongkrak pendapatan perkapita. Infrastruktur pasar modern dan tradisional menjadi centra perekonomian rakyatnya. Jika ditengok lebih jauh pendapatan regional perkapita pada 2004 Rp 5.532.190,21 satu tahun kemudian berangsur naik menjadi Rp 6.337.409,91.

Dari data tersebut setidaknya bisa dilihat peningkatan kesejahteraan masyarakat yang cenderung membaik. Mata pencaharian penduduknya sebagian besar menjadi buruh dan karyawan, sebesar 46,86 persen atau (55.602 jiwa), jasa pemerintahan 19.61 persen, industri 16,80 persen, bangunan 8,42 persen dan hanya sektor pertanian 1,28 persen.

Laju pertumbuhan ekonomi lainnya juga bisa dilihat dari peningkatan Produk Domistik Regional Bruto (PDRB). Selama kurun waktu 2004–2007 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada 2004 berdasarkan harga konstan PRDB sebesar Rp 1.144.785,37 juta naik menjadi Rp 1.288.556,24 juta pada tahun berikutnya atau meningkat sebesar 11,16 persen. Pada 2006 sebesar Rp 1.364.013,17 juta atau meningkat sebesar 5,53 dibanding tahun sebelumnya, sedangkan 2007 naik lagi sebesar 2,61 persen dari tahun sebelumnya.

Faktor yang mempengaruhi pembentukan PDRB adalah kontribusi lapangan usaha jasa-jasa. Sangat tepat jika kota yang berada pada ketinggian 503 meter dpl itu selalu mengampanyekan sebagai Kota Jasa. Sehingga brand untuk menarik investasi adalah Kota Harapan, dengan cita-cita bisa mewujudkan harapan para investor dan rakyatnya. Berbagai jasa yang selama ini sedang dan terus dikembangkan, antara lain jasa pariwisata, pendidikan dan kesehatan.

Investasi
Badai krisis ekonomi sempat menerjang geliat ekonomi di kota ini. Namun pengaruhnya tak sampai memperburuk kondisi berbagai sektor terutama jasa yang menjadi andalannya. Hal itu setidaknya bisa dilihat 1998 sektor jasa memberikan kontribusi terhadap kegiatan ekonomi sebesar 73,90 persen, delapan tahun kemudian, kegiatan ekonomi kota ini masih didominasi sektor tersebut sebesar 75,43 persen.

Kota mungil yang hanya terdiri dari tiga kecamatan, Magelang Selatan, Utara dan Tengah memiliki keuntungan geografis yang strategis. Berada tepat ditengah Kabupaten Magelang yang kaya raya potensi alamnya. Menghubungkan jalur utama Semarang-Yogyakarta. Dengan Semarang hanya berjarak 75 Km dan Yogyakarta 43 Km.

Daerah-daerah potensial disekelilingnya, misalnya Temanggung, Purworejo dan Salatiga turut menopang geliat perekonomian kota ini. Selain itu juga diuntungkan jalur wisata, Semarang-Yogya-Solo-Boyolali-Borobudur-Dieng.

Pada ulang tahunnya yang ke-1104 itu, Walikota H Fahriyanto bertekad mengembangkan sektor jasa yang bisa dipetik untuk memberikan kesejahteraan lebih pada masyarakatnya. Memang masih banyak potensi yang belum sepenuhnya dikembangkan, namun setidaknya itu menjadi garapan utama pada tahun mendatang.

Mewujudkan kota kecil penuh impian bukan perkaran mudah, masalah investasi seringkali membayangi langkah pemkot. Brand kota Jasa dan Harapan dengan berbagai potensinya itu setidaknya membuka peluang pasar potensial di sektor tersier atau jasa bagi investor.

Salah satunya peluang itu, adalah investasi di bidang perhotelan. Menurut data proyek peluang pasar untuk investasi hotel, mulai tahun 2006 sampai dengan 2010, bisnis hotel memiliki peluang pasar yang baik bagi investor. Peluang ini diproyeksi terus meningkat sampai tahun 2010 dengan pasar mencapai 1.195.043 orang.

Strategi yang jitu bisa diterapkan Pemkot untuk menjaring calon investor dengan cara menawarkan insentif. Misalnya, pelayanan perizinan satu pintu (one stop service), biaya perizinan usaha perdagangan nol rupiah.

Selain itu sebagian dukungan lahan investasi, volume listrik memadai serta jaringan telepon tersedia sebanyak 5.182 SST. Jaringan telepon terpakai saat ini baru 1.710 SST. Kemudian air PAM yang tersedia 7,25 1/Dt.

Saturday, March 6, 2010

| | 0 comments | Read More

LAPORAN FOTO DISKUSI 'VISI TATA RUANG KOTA MAGELANG'.


Diskusi yang mengangkat tema 'Visi Tata Ruang Kota Magelang', pada 13 Februari 2010, telah berlangsung relatif sukses. Diskusi yang berlangsung di Museum Diponegoro, Kota Magelang, itu dihadiri sekitar 125 orang. 65 orang mencatatkan dirinya di buku tamu, sementara sisanya tidak tercatat. Mungkin belum terbiasa dengan hal-hal protokoler itu. Yang pasti mereka mendukung dan meramaikan diskusi yang pertama kalinya diadakan borobudurlinks ini.
Berikut adalah foto-foto dokumentasi yang diabadikan oleh Yusuf Kusuma, seorang fotografer, yang aktif mengabadikan situs dan bangunan lama di kota Magelang. Trims, mas Yusuf, kami tunggu karya anda lainnya di borobudurlinks (borobudurlinks@2010).



Thursday, March 4, 2010

| | 0 comments | Read More

Mengupas Karya Goethe di Pesantren API(2-habis)


Melihat Islam dari Puncak Keberpasrahan pada Tuhan
oleh, Sholahuddin al-Ahmed

Jika diamati karya-karyanya Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) mengapreasi dan penghargaan karya sastra Arab. Setidaknya ini membuktikan kedekatannya secara pribadi dengan warna dan nilai sastra mahatinggi. Karyanya itu digemakan lagi di Kompleks Pondok Pesantren API Tegalrejo, baru-baru ini.

Dalam beberapa puisi, Goethe terkesan mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada bangsa Arab karena cukup mengilhami dan memberi sumbangsih warna sastra tersendiri dalam karya-karyanya.

Hal itu juga tak lepas dari perkenalan Goethe dengan sastra Arab, secara intensif bermula semenjak ia tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Leipzig, tahun 1761 atau pertengahan abad XVIII.

Saat Barat menyemarakkan studi-studi antropologis dan ekspedisi-ekspedisi geografis ke daratan Arab. Dalam buku keenam dari Puisi dan Cinta, Goethe mencatat perhatian besarnya pada hasil-hasil ekspedisi itu. Terutama pada Carsten Neibhur yang pernah mengunjungi Mesir, Yaman dan daerah-daerah Arab lainnya (1767).

Dari perjalanan ekspedisi dan riwayat pendidikan Goethe yang serius mengkaji Islam, maka tak diragukan lagi bahwa dia begitu dekat dengan bangsa Timur dan keilmuan Islam. Hingga akhirnya dalam karyanya, dia membuat syair.

Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri
Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati

Budayawan Ahmad Tohari yang malam itu turut hadir menganalisa, jika Islam dimaknai berserah diri kepada Tuhan, kita semua hidup dan mati dalam Islam menurutnya karya ini memiliki nilai sufi yang tinggi. Setidaknya Goethe telah mencapai puncak ekstase sufistik membaca Islam dan seluruh ajarannya.

Salah satu terjemahan kutipan puisi Goethe. Kitab Kedai Minuman, di halaman 109 buku Seri Keempat Puisi Jerman mengusik Kang Tohari. Apakah Al Quran abadi? Itu tak kupertanyakan! Apakah Al Quran ciptaan? Itu tak kutahu! Bahwa ia kitab segala kitab, Sebagai muslim wajib kupercaya. Tapi, bahwa anggur sungguh abadi, Tiada lah ku sangsi; Bahwa ia dicipta sebelum malaikat, Mungkin juga bukan cuma puisi. Sang peminum, bagaimanapun juga, Memandang wajahNya lebih segar belia.

Menurut Kang Tohari, anggur suatu keniscayaan yang bisa diukur oleh siapapun, tetapi Alquran tidak bisa dipahami secara saklek tapi butuh penafsiran.

‘’Adik-adik santriawan dan santriwati silakan membaca dengan seksama tetapi jangan lupa mencari pendamping yang bisa menerangkan tentang apa itu abadi,’’kata Kang Tohari seakan mengajak mengkaji lebih dalam syair Goethe dengan pisau analisa keilmuan Islam yang dimiliki santri.

KH Muhammad Yusuf Chudlori yang akrab disapa Gus Yusuf salah satu Pengasuh Pondok Pesantrek API Tegalrejo mengatakan, kebenaran mutlak berujung surga. Tetapi surga bukan hanya milik salah satu pihak.

Goethe yang sastrawan Barat, katanya, telah mendalami sufistik Islam dan meninggalkan ruang material sehingga memberikan penghargaan yang tepat kepada bangsa Timur.

Menurutnya, Berthold yang mengusung puisi-puisi Goethe malam itu sebagai pengalaman baru bagi para santri Tegalrejo. Suasana malam Maulud Nabi itu seakan membawa santri ke arah pemikiran dan pendalaman tentang Islam dari pandangan sastrawan Jerman.

Wednesday, March 3, 2010

| | 0 comments | Read More

Mengupas Karya Goethe di Pesantren API(1)


Mencitrakan Islam untuk Semua Umat

oleh Sholahuddin al-Ahmed

Filsuf dan penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) boleh dibilang pemikirannya mengispirasi gerakan dialog Barat (Nasrani) dan Timur (Islam). Jembatan antara Barat dan Timur dibangun di atas konstruksi pemikirannya yang menghargai al-Quran sebagai maha kitab dan mengagumi agama Islam yang jauh dari gerakan fundamental.

Benang merah pemikiran itu kembali dipertegas dalam sebuah acara ‘’Dialog Karya-Karya Goethe: Perintis Dialog Islam-Barat’’ di Pondok Pesantren API Tegalrejo, Kabupaten Magelang. Penyair asal Jerman Berthold Damshauser datang ke sana membawakan syair-syairnya Goethe. Turut mendampingi di panggung adalah penyair kaliber dunia asal Magelang Dorothea Rosa Herliany dan juga budayawan Sosiawan Leak.

Diantara penonton yang hadir adalah para santriawan dan santriwati API. Santri yang saban hari mengkaji kitab bermazhab Safi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali itu tiba-tiba jauh meroket mengkaji pemikiran filsuf Jerman.

Dialog ini memang bukan membahas masalah (bahsul masail)fiqiyah atau tauhid bersumber keempat mazhab di atas. Bukan pula mengkaji mazhab Frankfurt (sebuah nama yang diberikan kepada kelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt Jerman--konsentrasi kajian pemikiran neo-Marxisme dan kritik terhadap budaya).

Meski demikian para santri menikmati syair-syair Goethe yang cenderung sufistik. Melalui syair itu setidaknya mereka menjadi lebih tahu, pandangan orang Barat tentang agama yang mereka anut.

Dialog sastra yang didukung Goethe Institut Jerman, seperti menyederhanakan persoalan filsafat yang mengangkasa menjadi lebih ringan diterima para santri dan para peserta lainnya. Sepertinya mereka sepakat tak ada dikotomi antara Islam dan Barat. Karena Islam untuk semua umat.

Di panggung Berthold membacakan sejumlah puisi karya Goethe berbahasa Jerman sedangkan Rosa dan Leak membacakan puisi Goethe dalam terjemahan bahasa Indonesia.

Properti puluhan lentera berderet, tatanan indah beberapa lembar daun kelapa (blarak) menghidupkan suasana gelar sastra malam itu. Puisi berjudul ‘’Raja Mambang’ dibaca pertama kali oleh Leak disusul pembacaan puisi itu berbahasa Jerman ‘’Erlkonig’’ oleh Berthold.

Rosa pun menyusul dengan suguhan berturut-turut tiga puisi pendek Goethe bernada cinta, ‘’Dari Gunung Ke Laut’’ (Vom Berge In die See), ‘’Dari Gunung’’ (Vom Berge), dan ‘’Dendang Malam Pengembara’’ (Wanderers Nachtlied).

‘’Ini puisi cinta Goethe, ketika dia jatuh cinta kepada gadis bernama Lili dan ketika dia putus cinta dengan Lili,’’kata Rosa memecah kehening suasana.

Kemudian membacakan lagi puisi berjudul ‘’Mukadimah Diwan’’ (Zum Diwan), nukilan ‘’Kitab Parabel’’ (Buch Der Parabeln), ‘’Sabda Sang Nabi’’ (Der Prophet Spricht), nukilan ‘’Kitab Kedai Minuman’’ (Das Schenkenbuch), ‘’Rindu Dendam’’ (Selige Sehnsucht), dan ‘’Prarasa’’ (Vorschmack).

Sunday, February 28, 2010

| | 0 comments | Read More

ATLANTIS, BOROBUDUR, DAN KEINDONESIAAN KITA.




Oleh: Ma'rufin Sudibyo

Borobudurlinks, 1 Maret 2010. Sebuah seminar telah digelar di Museum Indonesia TMII pada Sabtu, 20 Februari 2010 lalu. Mengupas buku Prof Arysio Santos nan kontroversial. Indonesia sebagai lokasi benua yang hilang: Atlantis. Buku tersebut kini telah dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia.
Meski isu yang diangkat tergolong kontroversial namun daya magnitude-nya masih kalah jauh dibanding panasnya publisitas skandal Bank Century. Namun demikian masih ada 100-an orang yang menghadiri seminar tersebut yang ditingkahi diskusi seru sehingga penutupan seminar sampai mundur 1,5 jam dari rencana awal.
Prof Arysio Santos yang sejatinya adalah pakar fisika nuklir kelahiran Brazil menghabiskan waktu 30-an tahun guna meneliti segenap aspek akan Atlantis. Sebelum akhirnya menyimpulkan bahwa kontinen dengan penduduk berperadaban tinggi yang mendadak lenyap dari muka Bumi itu sebenarnya berada di Indonesia. Yakni di lokasi yang kini dikenal sebagai Paparan Sunda. Tanah rendah yang kini telah tenggelam di bawah limpahan air laut dan sebelumnya menghubungkan pulau-pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan beserta pulau-pulau kecil di antaranya.
Santos mengajukan argumen bentuk-bentuk candi, sistem pertanian terasering beserta kebudayaan-kebudayaan mirip kebudayaan Indonesia yang ditemukan di luar wilayah negara kepulauan ini. Seperti misalnya di India, Madagaskar, atau bahkan Afrika Selatan adalah bukti eksistensi Atlantis di Paparan Sunda.
Santos pun mengklaim Atlantis tenggelam 11,6 ribu tahun silam. Saat untaian gunung-gunung api di tanah Sumatera dan Jawa seperti Toba dan Krakatau meletus sehingga terjadi pelelehan es kutub yang menyebabkan permukaan air laut global menaik.
Kritik tajam memang perlu dialamatkan ke Prof Santos mengingat Sang Guru Besar ini sejatinya hanya merangkai-rangkai fiksi tentang Atlantis dan mengait-ngaitkannya dengan fakta akan kepulauan Indonesia tanpa berdasarkan sumber data yang valid. Apalagi melakukan analisis data. Demikian pendapat Prof Harry Truman Simanjutak. Arkeolog senior yang juga mantan punggawa Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI).
Dari sudut pandang ilmu kebumian celah lemah hipotesis Atlantis-nya Santos terbuka lebar di banyak tempat. Sebut saja misalnya letusan katastrofik gunung Toba yang ternyata terjadi 74,5 ribu tahun silam atau jauh sebelum masa penenggelaman Atlantis versi Santos.
Pun demikian dengan letusan katastrofik Krakatau yang ternyata baru pertama kali terjadi pada abad ke-4 atau 5 Masehi. Sebagaimana dicatat dalam kita Pustaka Raja Purwa. Atau jauh lebih kemudian dibanding waktu 11,6 ribu tahun.
Letusan Krakatau itu demikian dahsyat. Melebihi letusan 1883 dan menyebabkan gunung api besar yang berdiri di antara Sumatera dan Jawa dengan puncak diduga setinggi 4.000 m runtuh membentuk kaldera raksasa sembari menerbitkan gelombang tsunami pembunuh nan luar biasa. Dahsyatnya letusan ini membuat tanah genting penghubung Sumatera dan Jawa menjadi lenyap.

Namun, letusan-letusan gigantis gunung api tidak pernah dikaitkan dengan terjadinya pelelehan es kutub. Karena, sebaran debu-debu vulkanik di atmosfer justru mereduksi intensitas sinar Matahari yang jatuh ke Bumi sehingga terjadi penurunan suhu global (global cooling) yang pada gilirannya justru membekukan air laut menjadi es. Khususnya di daerah lintang kutub dan lintang tinggi.
Letusan Toba 74,5 ribu tahun silam, misalnya, ditengarai memerosotkan suhu Bumi hingga rata-rata 20 derajat Celcius dari semula. Sekaligus mendorong Bumi dengan kuatnya ke dalam salah satu episode zaman es.
Namun, terlepas dari kontroversi hipotesis dan banyaknya celah lemah dalam argumennya, Prof Santos sejatinya telah memantik perasaan bersama yang telah lama hilang dari bumi Nusantara. Kebanggaan akan keindonesiaan kita. Kebanggaan kita. Sebagai bagian dari lebih 200 juta manusia yang hidup dalam tanah yang terberkati dengan kesuburan, kaya dengan mineral bahan tambang, energi, dan sumber daya terbarukan serta posisi silang yang unik dalam konstelasi dunia. Baik secara geografis, oseanografis, klimatologis, maupun geologis.
Ada banyak aspek tanah Nusantara yang telah terkuak, namun lebih banyak lagi yang masih belum kita ketahui. Dan banyak pula yang telah kita ketahui, yang semula dianggap sudah menjadi pengetahuan baku, ternyata harus direvisi dan dirombak total seiring dengan
informasi baru yang diperoleh dari penyelidikan terbaru.
Ambil contoh misalnya pada Candi Borobudur. Salah satu karya agung nenek moyang kita. Pengetahuan lama yang dipantik oleh van Bemmelen menyebut candi di puncak bukit ini runtuh dan terkubur akibat letusan gigantis Gunung Merapi purba pada 1006 M yang merontokkan sayap barat daya gunung hingga mengambrolkan puncak dan mengalir keras ke barat daya sampai membentur Pegunungan Menoreh hingga akhirnya membentuk perbukitan Gendol yang sekaligus mengubur Danau Borobudur dan candinya sekaligus.
Peristiwa ini dinisbatkan van Bemmelen sebagai titik migrasi kerajaan di Jawa Tengah menuju Jawa Timur. Van Bemmelen memang beranggapan bahwa kasus runtuhnya salah satu sayap gunung berapi di Indonesia merupakan hal yang umum. Setelah ia demikiant erpesona dengan ambrolnya sayap Papandayan dalam letusan 1772 yang mengubur ribuan jiwa.
Namun, penyelidikan-penyelidikan terbaru menunjukkan peristiwa menggidikkan tersebut sebenarnya tak pernah terjadi: perbukitan Gendol ternyata sudah terbentuk jauh hari sebelum munculnya Merapi purba. Sedimen-sedimen di bekas Danau Borobudur tidak menunjukkan proses sedimentasi massif sekali waktu namun berulang-ulang dalam jangka waktu lama lewat mekanisme lahar dingin dan tiada endapan batuan sangat kaya akan asam di lereng Merapi. Bebatuan yang seharusnya ada jika terjadi letusan besar.
Dan, coba bandingkan dengan kisah Danau Bandung yang kini menjadi daratan bernama Kota Bandung. Van Bemmelen pula yang berasumsi danau raksasa ini surut akibat bobolnya dinding danau sebelah utara di gua Sangiangtikoro. Namun, analisis geomorfologi terkini menunjukkan gua yang menjadi tempat mengalirnya Sungai Citarum di bawah tanah ini sama sekali tidak berperan dalam surutnya danau Bandung. Melainkan akibat proses erosi mudik yang menggerogoti pasiripis (hogback) antara bukit Pasir Kiara dan Puncak Laras. Tepat di belakang Sangiangtikoro.
Erosi mudik yang disebabkan oleh menurunnya permukaan air laut akibat zaman es sehingga Paparan Sunda muncul kembali sebagai daratan luas. Demikian intensif sehingga menggerogoti hogback yang tersusun dari batuan keras hingga mencapai garis pantai danau Bandung. Menciptakan air terjun raksasa dengan outflow jauh lebih besar ketimbang inflow danau Bandung.
Disadari atau tidak minat mengetahui isi bumi Nusantara meningkat pesat dalam lima tahun terakhir. Khususnya pasca bencana gempa megathrust Sumatera - Andaman 2004 yang menggetarkan jiwa siapa pun manusia Indonesia. Arus lalu lintas informasi dan traffic internet didominasi dengan kosakata "Pacific ring of fire" maupun "lempeng tektonik". Namun, peningkatan ini disertai mengapungnya atmosfer energi negatif di tanah Nusantara.
Banyak waktu yang habis untuk mengulas kosa kata-kosa kata tersebut dengan bencana, malapetaka, bangsa yang dihukum, bangsa yang diazab, dan sebagainya yang meningkat intensitasnya seiring terjadinya gempa-gempa bumi berikutnya. Terakhir pada 2009 lalu di pesisir Padang (Sumatera).
Ini membuat kita kian inferior dalam memandang diri dan keindonesiaan kita yang tak terlepas dari kegagalan kita menggapai tujuan berbangsa yang lebih baik dalam rezim orde reformasi. Ditambah dengan skandal Bank Century. Praktik kotor yang mengagetkan kita namun sekaligus menjerat kita ke dalam ketegangan, akumulasi emosi, dan potensi perpecahan yang kian memuncak akhir-akhir ini.
Semua seakan menunjukkan betapa negatifnya Indonesia. Betapa tak ada yang bisa dibanggakan negeri ini. Betapa enegi negatif adalah inheren dalam kehidupan bangsa ini. Seakan tiada lagi yang tersisa.

Kita tentu tak ingin hal itu berlangsung secara terus menerus. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu bangkit dari kesalahannya, dari inferioritasnya, hingga mencapai posisi yang membuatnya memiliki harga diri. Keindonesiaan kita bisa dibangkitkan lagi tidak dengan upacara. Namun, salah satunya dengan lebih mengenali negeri ini. Memahami keunikan-keunikan dan potensinya yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan umum. Mencapai tujuan Indonesia.
Semoga Atlantisnya Prof Santos, meski kotroversial dan lemah, menjadi salah satu pemantik kita untuk lebih mengetahui isi bumi Nusantara sekaligus menumbuhkan kembali keindonesiaan kita (dari Detik.com).

Sunday, February 21, 2010

| | 0 comments | Read More

Melihat Magelang Masa Lalu (3-habis)



Benar!!! Magelang Pusat Seni Rupa Terbesar di Dunia

Pembicara pada diskusi ‘’Visi Tata Ruang Kota Magelang’’ yang paling nyeleneh mungkin Oei Hong Djien dokter yang juga kolektor lukisan kondang. Orang asli Magelang yang biasa disapa OHD itu hidup di tiga generasi, masa penjajahan, revolusi dan era modern sekarang.

Dia mengaku bahagia karena bisa melihat Magelang zaman penjajahan, saat itu menjadi kota persinggahan dan pusat militer. Waktu kecil dia menceritakan pernah tinggal di Jl Tidar, banyak ruang publik yang digunakan bermaian bagik itu di kaki gunung tidar dan di bayeman.

Ruang hijau dan ruang publik banyak yang hilang, bahkan dibanding Kota Kudus menurutnya ketinggalan jauh. Padahal kota kretek itu dahulunya tandus dan gersang.

Dia sepakat ketika sekarang mulai menggeliatkan lagi Magelang sebagai kota pelajar dan kota transit juga Kota lukisan. Tapi ironisnya kondisi sekarang justru menjadi kota penuh ruko, baliho dan pedagang kaki lima. Menurutnya, kepentingan ekonomi tidak sinkron dengan budaya.

Padahal mengembangkan kota ruko pusat perekonomian kemudian ditinggalkan karena kurang menghasilkan. Bagaimana kalau kota hijau dan sejuk dikembangkan, maka akan lebih bergengsi.

Dia mencontohkan, di Austria kota kecil yang penuh dengan ruang hijau dan ruang publik yang indah. Magelang punya hutan dan gunung di dalam kota, potensi itu perlu didukung ruang hijau lain dan taman.

Geliat seni budaya juga mendukung cita-cita itu. Misalnya saja sebulan sebelum pameran atau pergelaran, seniman berlatih performance berbulan-bulan itu sudah menjadi bagian daya tarik wisata. Apakah masyarakatnya sudah siap befikir ke arah situ.

Menurutnya, Deddy Langgeng memiliki pusat seni rupa terlengkap di Indonesia bahkan dunia. Asal dikelola dengan baik dan didukung seluruh elemen masyarakat bisa mengembangkan ke arah pariwisata.

Dia juga mengusulkan bisa saja ada sebuah festival tahunan, menutup daerah pecinan. Berbagai geliat seni budaya selama sepekan di gelar di sana. Kawasan pedestrian yang bisa menarik wisatawan domestik dan luar negeri.’’Saya masih yakin jika dihijaukan dan ditata menjadi kota wisata Magelang akan bisa lebih baik,’’tambahnya.

Apa yang dibicarakan dalam diskusi mungkin saja masih dianggap sebagai sebuah wacana oleh pemerintah atau sebagian masyarakat. Hampir semua peserta yang hadir (para seniman, aktivis, akademisi, budayawan dan mahasiswa, wakil rakyat, pejabat), sepakat bahwa ke depan Magelang haruslah menjadi kota yang menjual keelokan panorama dan potensi geliat seni budayanya. Bukan menjadi hutan advertaising, dan ruko-ruko yang tak produkstif.

Apakah pernah membayangkan di Magelang memiliki aset seni rupa senilai Rp 2 triliun lebih tersimpan di rumah orang-orang kaya Magelang. Setiap tahunnya ada transaksi Rp 100-200 milyar rupiah. Ada banyak geleri seni rupa di kota getuk ini.

Salah satunya, di rumah OHD tersimpan 2000 lebih karya senirupa, 1.500 lebih lukisan, dan 500 lebih patung dan karya tiga dimensi. Karya sebanyak itu tersimpan rapi di rumahnya. Sebagian di plafon yang telah disulap menjadi tempat penyimpanan lukisan. Sebagian lagi dipajang di dua museum yang terletak di belakang rumahnya, yakni Museum Modern Art dan Museum Contemporary Art.(Sholahuddin al-Ahmed)